Menjaga Marwah Keluarga: Pandangan dan Solusi Islam dalam Tragedi Inses

by -38 views

Eradakwah.com – Peristiwa mengejutkan terjadi di Medan pada Jumat, 9 Mei 2025. Sepasang kakak beradik berinisial NH dan R ditangkap oleh aparat kepolisian setelah diketahui mengirimkan jenazah bayi melalui layanan pengiriman GoSend. Tragisnya, bayi tersebut merupakan hasil hubungan inses antara keduanya. Penangkapan ini telah dikonfirmasi oleh Kasat Reskrim Polrestabes Medan, AKBP Bayu Putro Wijayanto.

 

Tak berselang lama, publik kembali dikejutkan oleh viralnya sebuah grup Facebook bernama Fantasi Sedarah yang memiliki lebih dari 32.000 anggota. Grup ini secara terang-terangan membagikan konten fantasi hubungan sedarah (inses). Meskipun sejumlah admin dan anggota telah diamankan, fenomena ini belum menyentuh akar persoalan yang sebenarnya: runtuhnya pandangan tentang kesucian institusi keluarga.

 

 Apa Itu Inses?

Inses didefinisikan sebagai hubungan seksual atau romantis yang terjadi antara individu-individu yang memiliki ikatan kekerabatan. Menurut Gillian Harkins, akademisi dari University of Washington dalam The International Encyclopedia of Human Sexuality (2015), inses tidak hanya merujuk pada hubungan biologis, tetapi juga meliputi hubungan kekerabatan yang terbentuk melalui pernikahan.

 

Lingkup inses mencakup relasi antar generasi (misalnya, antara orang tua dan anak) maupun relasi sejajar dalam satu generasi (seperti antar saudara kandung). Fenomena ini tergolong sebagai penyimpangan yang mengancam struktur moral dan psikologis individu, serta mengganggu ketertiban sosial.

 

 Akar Masalah: Liberalisme dan Dekadensi Moral

Fenomena inses yang kini tampak semakin mencuat di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia bukanlah peristiwa tunggal yang muncul tanpa sebab. Ia merupakan bagian dari bola salju yang bergulir akibat pengaruh budaya liberal yang mengikis nilai-nilai luhur dalam masyarakat. Beberapa faktor yang berkontribusi antara lain:

 

1. Lunturnya Nilai Kesucian Keluarga

Keluarga, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, pendidikan, dan penanaman nilai moral, mulai kehilangan sakralitasnya. Batasan interaksi antara anggota keluarga menjadi kabur, dan hubungan di dalam rumah tangga tak lagi berpijak pada nilai-nilai agama, melainkan pada kebebasan individu tanpa kendali.

 

2. Propaganda Media dan Normalisasi Seksualitas

Media—baik hiburan maupun pemberitaan—sering kali menampilkan konten seksual yang vulgar, bahkan menyelipkan tema inses secara tersirat. Di bawah payung kebebasan berekspresi, media menjadi sarana penyebaran nilai-nilai liberal yang mengaburkan batas antara benar dan salah. Penayangan konten yang menarik secara psikologis namun rendah nilai justru memperparah degradasi moral masyarakat.

 

 3. Lemahnya Kontrol dari Keluarga, Masyarakat, dan Negara

Ketika keluarga lengah, masyarakat apatis, dan negara tak tegas menindak pelanggaran seksual termasuk inses, ruang tumbuh bagi perilaku menyimpang pun meluas. Kurangnya edukasi seksual berbasis moral, serta nihilnya keteladanan dalam lingkungan sekitar, membuat anak-anak dan remaja mudah terjerumus.

 

4. Perubahan Paradigma Seksualitas

Seksualitas kini dipandang bukan sebagai ekspresi kasih sayang dalam bingkai spiritual dan ibadah, tetapi sekadar alat pemuas nafsu. Dalam kerangka budaya liberal, hubungan pria dan wanita dipisahkan dari nilai religius, sehingga seks bebas menjadi hal yang dinormalisasi.

 

5. Terkikisnya Peran Lembaga Keagamaan

Lembaga keagamaan seharusnya menjadi benteng penjaga moral masyarakat. Namun kini pengaruhnya melemah akibat serangan pemikiran sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Ketika agama tidak lagi dijadikan acuan dalam bersikap dan bertindak, penyimpangan pun kian merajalela.

 

 

Marwah Keluarga Wajib dijaga

Dalam ajaran Islam, prinsip fundamental yang mengatur hubungan antara pria dan wanita adalah pemisahan (infishal).

Menurut Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam karyanya “Muqaddimah ad-Dustur”, kaidah dasarnya menyebutkan bahwa kaum pria dan wanita pada hakikatnya terpisah, dan interaksi di antara mereka hanya diperbolehkan untuk kepentingan yang diakui syariat serta merupakan konsekuensi logis dari interaksi tersebut, contohnya dalam ibadah haji, transaksi jual beli, kesehatan, pendidikan, dll.

Syari’at Islam telah menetapkan pandangan-pandangan dan hukum-hukum tertentu untuk menjaga agar keluarga terhindar dari aktivitas perzinaan dalam keluarga termasuk agar tidak berkembang di dalam masyarakat, diantaranya adalah:

Pertama, Islam telah memerintahkan kepada kepala keluarga agar benar-benar memelihara diri dan keluarganya agar terhindar dari api neraka sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya dalam surat At Tahrim: 6 yang berbunyi:

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah batu dan manusia dan penjaganya adalah malaikat-malaikat yang keras ….”

Ayat ini juga berkaitan dengan hadist dari lisan mulia Rasulullah Saw yang diriwayatkan Imam Al Bukhari, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya …”

Atas dasar kedua hal ini, maka setiap kepala keluarga, istri, dan anak-anak serta seluruh anggota keluarga akan berupaya memelihara dari api neraka serta berhati-hati sekaligus bertanggung jawab atas amanah yang diembannya.

Pemeliharaan yang dimaksud disini adalah pemeliharaan agar senantiasa berada di jalan ketakwaan, bukan sekedar memenuhi hak-hak maupun kewajiban saja. Jika misalnya seorang anak meminta suatu hal yang mengantarkan pada kemaksiatan ataupun kelalaian kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, maka kepala keluarga berhak untuk melarang dan memberikan penjelasan atas apa yang dimintanya tersebut.

Kedua, Islam menjaga marwah (kehormatan diri) dalam keluarga. Syari’at Islam telah memberikan tuntunan agar marwah keluarga tetap terjaga, diantaranya: melarang untuk masuk tanpa permisi ke dalam kamar/tempat pribadi orang tua atau anak khususnya di waktu aurat (Sebelum subuh, dhuhur hingga ashar, dan setelah Isya’), memisahkan kamar antara anak laki-laki dan perempuan, memisahkan kasur antar anak yang berjenis kelamin sama, menjaga aurat masing-masing antar anggota keluarga, membatasi interaksi agar tidak mengarah pada seksualitas, serta membatasi tontonan yang mengarah pada perzinaan.

Syari’at tersebut di atas sudah cukup untuk menjaga Marwah keluarga sebagai bagian dari upaya preventif (pencegahan) untuk menjaga marwah keluarga serta agar tidak terjadi perzinaan.

Ketiga, Senantiasa bertakwa dimanapun berada, berupaya menghindari tempat-tempat dan waktu-waktu syubhat. Ketiga hal ini sangat penting untuk diperhatikan, takwa akan menjaga masing-masing diri kita agar senantiasa tegak lurus di atas jalan Allah SWT dan berupaya agar tidak menyimpang dari jalan-Nya. Sementara berupaya menghindari tempat-tempat syubhat (tempat yang belum diketahui jelas peruntukannya) misalnya tempat atau jalan yang sepi, gelap, dan yang memungkinkan untuk adanya maksiat. Termasuk waktu-waktu yang syubhat, seperti saat di malam atau waktu-waktu rawan berjalan sendiri yang memungkinkan terjadinya tindak kriminal termasuk perzinaan.

 

Tak Cukup Parsial Saja

Tak hanya solusi pencegahan, Islam juga memberikan solusi kuratif berupa sanksi yang tegas dan memberikan efek jera kepada pelaku perzinahan kerabat. Menurut Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda, mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa sanksi yang pelaku zina mahram dan bukan mahram adalah sama yakni 100 cambukan bagi pelaku yang belum menikah dan rajam hingga wafat untuk pelaku yang sudah menikah.  Sedangkan ulama Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa pelaku zina mahram (inses) diberikan sanksi hukuman mati baik pelakunya belum menikah atau telah berstatus menikah. (MUI.or.id/20/05/2025).

Sayangnya solusi kuratif dengan sanksi yang tegas ini belum dapat kita amalkan di negeri para wali, Indonesia. Karena Indonesia belum menjadikan norma hukum Islam sebagai sumber utama untuk sanksi kriminalitas pidana atau perdata. Kiblat norma hukum Indonesia adalah norma hukum warisan kafir penjajah yang ironisnya tidak memiliki payung hukum yang tegas untuk pelaku perzinahan sedarah (inses). Mandulnya konstitusi negeri ini untuk memberikan sanksi kepada pelaku Inses terungkap dari kekhawatiran Pakar Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel.  Beliau menyatakan bahwa Undang-undang negeri ini bahkan  Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), tidak bisa menjangkau tindakan menyimpang tersebut (inses). (Tribunnews.com, 19/05/2025).

Islam telah memberikan pandangan-pandangan dan hukum-hukum terkait dengan keluarga, masyarakat, bahkan negara. Namun, pandangan dan hukum ini tak bisa diterapkan sebagian dan diabaikan sebagiannya. Semua pandangan dan hukum Islam harus diterapkan seluruhnya, agar negeri benar-benar menerima berkah dari Allah SWT dan bukan azab dari-Nya karena menerapkan sebagian atau bahkan menerapkan hukum kufur seluruhnya untuk mengatur warga negara.

 

Penutup

Tragedi Inses adalah tragedi yang hanya terjadi di bawah tatanan sistem kapitalisme dengan asas sekularismenya dan tidak terjadi di bawah sistem Islam sepanjang masa penerapannya. Kaum muslimin akhirnya ternoda dengan buruknya tatanan yang merenggut marwah mereka sedikit demi sedikit hingga institusi penopangnya ternoda oleh kemaksiatan yang nyata-nyata dimurkai Allah SWT. Wallahu a’lam bishawab.***

 

 

 

Sofian Siregar [Aktivis LSM | Lingkar Studi Mabda]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *