Eradakwah.com — Sungguh mengkhawatirkan, satu dari tiga anak usia 10–17 tahun di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Sementara itu, satu dari 20 remaja lainnya terdiagnosis gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Artinya, lebih dari 15 juta anak dan 2,45 juta remaja tengah bergulat dengan kondisi psikologis yang serius.
Data tersebut diungkap melalui survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang dilakukan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2022. Kini pada 2025, situasi makin memburuk. Kunjungan anak dan remaja ke biro-biro psikologi melonjak hingga 20—30%.
Ini tentu bukan sekadar angka. Ini adalah peringatan keras bahwa ada yang salah, bukan semata pada individu anak, melainkan pada sistem yang membentuk mereka.
Mengapa Bisa Terjadi?
Survei I-NAMHS mengungkap temuan utama bahwa gangguan mental yang paling banyak dialami remaja adalah gangguan kecemasan, yakni gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh, dengan prevalensi sebesar 3,7%. Disusul gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD), masing-masing sebesar 0,5%.
Penelitian ini juga mengidentifikasi berbagai faktor risiko yang memengaruhi kesehatan mental remaja, antara lain perundungan, tekanan akademik di sekolah, relasi dengan teman sebaya dan keluarga, perilaku seksual berisiko, penyalahgunaan zat, pengalaman masa kecil yang traumatis, hingga keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan mental.
Senada dengan itu, psikolog sekaligus pendidik Najeela Shihab menegaskan bahwa kesehatan mental anak dan remaja dipengaruhi oleh banyak faktor. Pola asuh di rumah, metode pembelajaran di sekolah, dinamika hubungan sosial, serta kecenderungan personal anak, semuanya saling berkaitan.
Sekretaris Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi Indonesia, Dian Sudiono Putri, menyebut pengalaman buruk di sekolah seperti perundungan sebagai salah satu pemicu gangguan kesehatan mental pada anak. Pola asuh di rumah, kecanduan gawai, trauma masa kecil, kekerasan dalam rumah tangga, dan tekanan sosial turut berkontribusi memunculkan gangguan mental, baik ringan maupun berat. Setiap anak, menurutnya, memiliki pencetus yang berbeda-beda.
Dian juga menyebutkan bahwa kondisi ekonomi turut berpengaruh. Anak-anak yang hidup di wilayah dengan tingkat sosial ekonomi rendah memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan mental. Mereka rentan menjadi korban kekerasan fisik maupun emosional akibat stres orang tua yang kewalahan memenuhi kebutuhan hidup. Beban finansial, ancaman putus sekolah, serta tekanan hidup sehari-hari turut menjadi pemicu tambahan.
Kegagalan Sistem
Berdasarkan berbagai pandangan para ahli, menjadi jelas bahwa persoalan kesehatan mental pada anak dan remaja tidak berdiri sendiri. Masalah ini bukan semata isu medis atau persoalan individu, melainkan buah dari lingkungan dan sistem kehidupan yang membentuknya. Kita hidup dalam tatanan sosial yang sejak awal menanamkan tekanan, ketimpangan, dan krisis nilai. Di sinilah tampak bahwa sistem sekuler kapitalistik telah gagal membentuk generasi yang kuat secara mental maupun spiritual.
Sistem ini secara sadar memisahkan agama dari urusan kehidupan. Agama dianggap cukup jika hadir di ruang privat, sementara urusan pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial dijalankan berdasarkan logika materi dan kepentingan pasar. Akibatnya, nilai-nilai spiritual dan moral tercerabut dari ruang publik tempat generasi dibentuk.
Dalam kerangka kehidupan seperti ini, anak-anak dan remaja didorong untuk mengejar standar pencapaian duniawi, seperti nilai akademik tinggi, karier gemilang, dan pencitraan sosial yang baik. Parahnya, semua itu tidak dibarengi dengan pemaknaan hidup yang utuh dan fondasi spiritual yang kokoh. Tidak sedikit dari mereka yang tumbuh menjadi pribadi cerdas secara akademik, tetapi rapuh saat menghadapi tekanan, kegagalan, atau kehilangan.
Tanpa panduan yang kuat tentang tujuan hidup, banyak dari mereka kehilangan arah ketika hidup tidak sesuai ekspektasi. Mereka mudah cemas, tertekan, bahkan terpuruk. Dalam dunia yang terus menuntut pencapaian tanpa memberi ruang untuk memahami makna hidup, banyak yang akhirnya merasa kosong, terasing, dan kehilangan pegangan.
Pendidikan sekuler liberal juga belum menunjukkan hasil dalam membentuk generasi tangguh. Kurikulum hanya berfokus pada pencapaian kognitif, namun kurang memberi ruang pada pembinaan karakter dan nilai spiritual yang menyeluruh. Akibatnya, banyak remaja tumbuh dengan identitas goyah, mudah menyerah, dan mencari pelarian instan saat menghadapi masalah.
Pada saat yang sama, sistem ekonomi kapitalistik telah menciptakan ketimpangan yang nyata. Kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat lebih banyak dikuasai segelintir elit. Mayoritas masyarakat harus membanting tulang hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dalam kondisi seperti ini, banyak orang tua kehilangan waktu dan energi untuk mendampingi anak-anak secara optimal. Pola asuh yang keliru pun terjadi, bahkan memperburuk kondisi psikis anak sejak dini.
Sayang, negara pun tidak banyak hadir sebagai pelindung dan pengayom. Dalam sistem yang lebih mengutamakan mekanisme pasar, negara berperan lebih sebagai pengatur dan penyedia fasilitas, bukan sebagai pelayan penuh bagi rakyat. Pelayanan yang seharusnya menjadi hak dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, kerap bergantung pada kemampuan bayar.
Tidak heran, ketika kondisi ini terus dibiarkan, mental anak-anak kian rapuh. Bukan hal aneh jika kasus kriminalitas yang melibatkan anak dan remaja semakin marak. Ada yang tega melakukan kekerasan terhadap orang tuanya, dari penganiayaan hingga pembunuhan. Ada pula kekerasan seksual yang berujung pada kematian pacar atau teman. Tidak kalah mengkhawatirkan, pergaulan bebas serta kecanduan judi online dan narkoba juga makin meluas. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya memilih bunuh diri. Sungguh, ini kondisi yang sangat memprihatinkan.
Jika kita serius ingin mengatasi darurat kesehatan mental generasi, tidak cukup hanya dengan menyediakan layanan konseling atau terapi medis. Perlu perubahan mendasar pada sistem yang menjadi fondasi kehidupan kita hari ini. Selama nilai-nilai kehidupan sekuler, kapitalistik, individualistik, dan materialistik masih terus menjadi paradigma, krisis demi krisis akan terus bermunculan. Sudah waktunya mempertimbangkan sistem yang lebih manusiawi, adil, dan bermakna, yang mampu membentuk generasi kuat, sehat, dan tangguh.
Islam Mewujudkan Generasi Tangguh
Islam sebagai sistem kehidupan yang diturunkan oleh Zat Yang Maha Sempurna, menawarkan solusi mendasar bagi berbagai problematik kehidupan, termasuk masalah kesehatan mental generasi. Dalam pandangan Islam, setiap manusia wajib diberi pemahaman sejak dini bahwa tujuan penciptaannya adalah menjadi hamba Allah dan menjalani hidup dalam rangka beribadah kepada-Nya.
Kerangka berpikir ini membentuk cara pandang yang utuh terhadap kehidupan. Seorang muslim diajarkan untuk tidak menjadikan dunia dan pencapaian materi sebagai tujuan utama, melainkan sebagai sarana untuk meraih rida Allah. Ketika menghadapi kegagalan, kehilangan, atau musibah, mereka tidak larut dalam kesedihan, karena telah ditanamkan keyakinan bahwa setiap ujian adalah bentuk kasih sayang Allah dan peluang untuk meraih pahala.
Ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam QS Al-Baqarah ayat 155—157, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn’ (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dalam sistem Islam, negara adalah raa’in (pengurus) bagi urusan rakyat. Negara bertanggung jawab membentuk kepribadian Islam melalui sistem pendidikan yang integral. Sistem ini tidak hanya membentuk individu yang bertakwa secara personal, tetapi juga mendorong mereka menjadi anggota masyarakat yang peduli dan saling menguatkan. Interaksi sosial dibangun atas dasar keimanan dan prinsip tolong-menolong dalam kebaikan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah [5]: 2).
Sistem pendidikan Islam berperan membentuk generasi berkepribadian Islam, yaitu yang berpola pikir dan berpola sikap sesuai ajaran Islam. Sistem pendidikan Islam juga menyiapkan mereka untuk menjalankan peran sebagai penerus peradaban mulia. Mereka dibekali kesiapan menjadi calon ayah dan ibu yang mampu memikul tanggung jawab itu dengan baik. Di sisi lain, negara turut menjamin perlindungan bagi institusi keluarga serta memastikan suatu keluarga menjadi benteng yang aman, nyaman, penuh kasih sayang, berkah, dan kondusif bagi tumbuh kembang generasi.
Negara juga wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat melalui penerapan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam mengelola kekayaan alam secara amanah dan profesional agar manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, bukan hanya segelintir orang. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, tekanan hidup yang kerap menjadi pemicu stres dan kecemasan dapat diminimalkan. Para ibu pun dapat optimal menjalankan peran utamanya sebagai pengasuh dan pendidik generasi, tanpa dibebani tanggung jawab mencari nafkah.
Pada saat yang sama, negara berperan sebagai junnah (pelindung). Negara bertanggung jawab menjaga ketahanan moral dan mental rakyat. Media dikontrol agar tidak merusak akhlak atau mendorong gaya hidup permisif. Jika terjadi pelanggaran, sistem sanksi ditegakkan secara adil dan tegas demi menjaga kesehatan masyarakat secara menyeluruh.
Dalam suasana seperti ini, yakni keberadaan individu yang bertakwa, kontrol sosial berjalan baik, serta sistem yang mendukung pendidikan nilai, pemenuhan kebutuhan, dan perlindungan akhlak, generasi akan tumbuh dengan karakter tangguh. Mereka siap menjalani peran sebagai pelajar yang tekun, anak yang berbakti, pemimpin yang adil, hingga orang tua yang bertanggung jawab. Inilah generasi tangguh yang lahir dari sistem yang sahih.
Khatimah
Penerapan sistem sekuler kapitalisme telah menjauhkan manusia dari agama dari kehidupan. Ditambah konten media sosial yang toksik, sistem pendidikan yang menekan, serta gaya hidup individualistik dan materialistik, terbukti merusak kesehatan mental generasi. Islam sebagai sistem hidup yang sempurna memberikan solusi menyeluruh. Ketika diterapkan secara kafah, sistem Islam mampu melahirkan individu berkepribadian kokoh dengan akidah sebagai fondasi kehidupan. Islam juga menjamin kebutuhan hidup serta menciptakan lingkungan yang sehat secara spiritual dan sosial. Inilah jalan menuju generasi tangguh yang akan melahirkan peradaban mulia dan penuh berkah. Wallahualam bissawab.***
[MNews/SK-NA]