Eradakwah.com – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan ancaman pidana terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (L687).
KUHP hanya mengatur ancaman pidana bagi pelaku pelecehan seksual, tidak terbatas hanya pada yang dilakukan oleh kelompok L687.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Habiburokhman juga menampik terdapat pasal dalam KUHP yang berpotensi mendiskriminasi kelompok L687. “Kalau soal L687 tentu diatur di KUHP di Pasal 414 bahwa kita melarang perbuatan cabul, baik sesama jenis maupun berbeda jenis,” ujarnya.
Menurutnya, ini sama sekali tidak bertentangan dengan HAM, bahkan membela HAM, membela korban, dan menjaga masyarakat kita. “Aturan itu sama sekali tidak mendiskriminasi masyarakat dari sisi orientasi seksual. Sama ya, mau sejenis, mau sesama jenis kalau berbuat cabul dan (dengan) paksaan ya kita hukum menurut KUHP (baru) ini,” ucapnya.
Fahisyah
Hal ini diingatkan oleh cendekiawan muslim Ustaz Ismail Yusanto yang menegaskan bahwa melalui ukuran Islam, perbuatan L687 sangat nista karena merupakan fahisyah.
“Al-Qur’an menyebutnya fahisyah yang bermakna kemungkaran yang besar dan menjijikkan. Kemudian fahisyah itu jarimah atau kejahatan sehingga ada hukuman.
Hukuman untuk perbuatan ini pun luar biasa, yaitu hukuman mati sebagaimana hadis Rasulullah yang mengatakan bahwa siapa saja yang menemukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya, baik yang menghomoi maupun yang dihomoi,” cetusnya.
Ia mengingatkan lagi bahwa penting sekali memelihara istilah ini karena ada pengertian di dalamnya. “Jadi, kita tidak boleh mundur seinci pun untuk menyebutnya fahisyah. Harus dipopulerkan bahwa L687 adalah fahisyah.
Namun, ironisnya ini hari kita dipaksa untuk mengatakan itu bukanlah fahisyah dan jarimah (kejahatan). Jadi, ini tidak bisa ditolerir karena merupakan rantai penularan agar mereka meningkat populasinya,” jelasnya.
Diadopsi Negara
UIY menyampaikan, L687 bukan sekadar gerakan global, tetapi sudah diadopsi oleh negara. “Lebih dari 30 negara telah mengesahkan pernikahan sejenis yang merupakan puncak perjuangan kaum L687, yakni legal acceptancy (penerimaan legal). Ini bisa diperoleh jika mereka telah lebih dulu memperoleh political acceptancy yang hanya mungkin didapat jika jumlah mereka makin meningkat secara signifikan sehingga bisa mempengaruhi kontestasi politik di sebuah negara,” ungkapnya.
Ia menilai, meskipun sudah ada yang melegalkan same sex marriage, komunitas L687 sadar bahwa mereka tidak mungkin bertambah melalui pernikahan sehingga yang dilakukan adalah penularan.
“Penularan ini hanya mungkin terjadi jika mereka diterima oleh masyarakat (social acceptance). Penerimaan ini bisa terjadi jika yang mereka lakukan bukan dianggap pelanggaran, kejahatan, atau kriminal. Ini adalah level terendah perjuangan mereka. Level kedua adalah political acceptance dan ketiga, legal acceptance. Di Indonesia, mereka ingin meraih level pertama ini,” ulasnya.
Oleh karena itu, imbuhnya, mereka berusaha keras agar dianggap tidak melakukan kejahatan atau pidana. “Mengapa? Karena tidak ada diktum legal sebagai alas hukum untuk melakukan penindakan hukum atas mereka.
Bahkan, yang terjadi nanti siapa saja yang melakukan tindakan persekusi terhadap komunitas L687, bisa dipersalahkan secara hukum. Artinya, mereka sudah berhasil satu langkah, yaitu social acceptance. Meskipun mereka dipersalahkan secara norma sosial dan agama, mereka tidak dapat dihukum,” bebernya.
UIY mengungkapkan, mereka akan memanfaatkan situasi ini untuk terus meningkatkan kampanye penerimaan sosial. “Lambat laun akhirnya yang mereka lakukan dianggap normal. Ini adalah soal waktu, walaupun mereka sadar, ini tidak mudah karena selain norma hukum, ada norma agama,” tuturnya.
Islam Menjadi Benteng
Dalam norma agama, imbuhnya, Islam sangat keras menentang soal itu dan bisa menjadi benteng yang sangat keras bagi mereka untuk bisa meraih social acceptance, kemudian political acceptance dan legal acceptance.
“Namun, kita tidak boleh lupa situasi ini pernah dialami publik AS. Pada 1950-an mereka sangat keras menentang L687, tetapi pada 2015 mereka harus menerima sesuatu yang sebelumnya mereka tentang keras.
Bukan hanya L687-nya, tetapi pernikahan sejenis yang dilegalkan MA di seluruh negara bagian. Jadi, ini bukan hanya persoalan individu atau kelompok, tetapi persoalan negara,” paparnya.
Apalagi, urai UIY, Saat ini, mereka mendapat dukungan dari komunitas yang memiliki kekuatan finansial. “Kita yang menyerukan against L687 akan di-banned, yang menyerukan kebenaran justru dianggap sebagai penjahat.
Sedangkan, mereka yang melakukan kemungkaran, malah dilindungi. Dunia sudah terbalik. Tampaklah, dakwah yang efektif itu jika memang dilakukan oleh negara. Ketika ada kemungkaran, negara pula yang memiliki kekuatan untuk menghentikannya,” tandasnya.*** [MNews/Ruh]