Belanja ASN di Tanggal Cantik, Mampukah Menyelesaikan Stunting?

by -25 views
stunting di indonesia

Eradakwah.com – Berbicara stunting seakan tak pernah ada habisnya. Bahkan sejak 20 tahun lalu kasus stunting sudah menjadi pembicaraan dunia (baca:WHO).

Indonesia pun tak luput dari prevalensi stunting. Bahkan Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi stunting cukup tinggi dibandingkan negara-negara berpendapatan menengah lainnya yaitu rangking 6 ( di angka 24%) di Asia Tenggara (Desember 2021).

Angka prevalensi tersebut memang menurun dari tahun sebelumnya, yaitu 26,9% pada 2020. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas toleransi stunting suatu negara hanya 20 persen.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2022, angka stunting di Provinsi Jawa Timur yaitu 19,2 persen. Dan target nasional 2024, stunting turun ke angka 14 persen.

Sedangkan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang berada di ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi juga tak luput dari prevalensi stunting ini. Pada tahun 2022 meski angka stunting di Banyuwangi menurun menjadi 18,1 % di banding tahun sebelumnya yaitu sebesar 21,1%.

Namun, meski angka ini turun, stunting tetaplah stunting yang merupakan bagian dari perbincangan berkaitan nasib manusia. Namun, karena kita berada dalam sebuah sistem buatan manusia maka segala masalah dilihat dari angka-angka semata.

Melansir World Health Organization (WHO), penyebab stunting adalah gizi buruk, infeksi berulang, dan kurangnya stimulasi psikososial. Jika ketiga penyebab tersebut terjadi secara simultan dan terus-menerus pada 1.000 hari pertama hidup bayi, maka akan menyebabkan stunting.

Dilansir juga dari kemenkeu.go.id, penyebab utama stunting diantaranya, adalah asupan gizi dan nutrisi yang kurang mencukupi kebutuhan anak, pola asuh yang salah akibat kurangnya pengetahuan dan edukasi bagi ibu hamil dan ibu menyusui, buruknya sanitasi lingkungan tempat tinggal seperti kurangnya sarana air bersih dan tidak tersedianya sarana MCK yang memadai serta keterbatasan akses fasilitas kesehatan yang dibutuhkan bagi ibu hamil, ibu menyusui dan balita.

Pendapat di atas diperkuat oleh pendapat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan, bahwa kunci untuk menurunkan stunting adalah penanganan kemiskinan. Menurutnya, kemiskinan merupakan salah satu penyebab ibu dan anak tak memeroleh gizi yang cukup.

“Memang tidak semua orang miskin anaknya stunting. Tapi sebagian besar stunting itu diakibatkan karena kemiskinan. Dan karena itu kemiskinan itu yang harus ditangani,” ujar Menko PMK di Gedung Penanggulangan Gizi Terpadu di Desa Lumpangan, Kecamatan Pajukakang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, pada Selasa (2/3). (sulselprov.go.id)

Jadi, antara prevalensi stunting dan kemiskinan sangatlah berkorelasi. Karena biasanya kemiskinan berhubungan dengan kemampuan dalam menyediakan pangan yang bergizi.

Selain itu angka stunting di negara-negara berkembang biasanya lebih tinggi daripada di negara maju. Ini juga menunjukkan bahwa kemampuan negara berkembang dalam menyelesaikan stunting lebih lama karena berhubungan dengan dana.

Pemerintah pusat hingga daerah terus berusaha menyelesaikan stunting. Dimana pada 2017, Pemerintah meluncurkan Strategi Nasional untuk Percepatan Pencegahan Stunting (StraNas Stunting), berkomitmen untuk menginvesasikan $14,6 miliar dolar AS selama empat tahun untuk menyatukan layanan prioritas di 514 kabupaten.

StraNas Stunting mengadopsi pendekatan menyeluruh, melibatkan 22 kementerian; yang mencakup kesehatan, pendidikan dan pengembangan anak usia dini (PAUD), air, sanitasi dan kebersihan, keamanan pangan, serta insentif perlindungan sosial – dan menyelaraskan berbagai lapisan pemerintahan.

Kabupaten Banyuwangi pun melakukan berbagai inovasi dalam menangani stunting, diantaranya adalah ASN belanja berbagai makanan bergizi di tanggal cantik untuk disumbangkan kepada penyandang stunting, misalnya 2 Februari (2/2), 3 Maret (3/3) dan seterusnya. Disamping juga solusi-solusi yang lain tentunya.

Yang perlu dikritisi dari solusi-solusi yang dilakukan pemerintah baik pusat maupun daerah masih bersifat kasus per kasus. Belum menyentuh akar masalahnya. Walau usaha penyelesaian ini bukan berarti tidak berarti, tetapi kita perlu lebih detil dalam melihat suatu masalah dengan begitu akan menghasilkan solusi yang mendasar.

Jika kita lihat dari pendapat Menko PMK, Muhadjir Effendi, akar masalah dari stunting adalah kemiskinan. Maka, langkah yang paling tepat dalam menyelesaikan stunting adalah dengan menghilangkan kemiskinan tersebut.

Berbeda dengan Islam yang selalu mempunyai solusi jitu dalam menyelesaikan berbagai problem, termasuk stunting.

Karena stunting merupakan masalah turunan dari kemiskinan, maka kemiskinan inilah yang harus diselesaikan.

Dalam Islam negara akan mengelola SDA dan memberikan hasil pengelolaan itu pada masyarakat. Untuk menanggulangi stunting, negara akan menjamin dan memastikan kebutuhan masyarakat (orang per orang) terpenuhi, terutama makanan yang dikonsumsi halal dan bergizi.

Jadi, dalam Islam negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap masalah rakyatnya. Bukan dibebankan ke masyarakat (misal ASN), karena ini hanya solusi yang bersifat sementara.

Dan apabila ada yang masih belum bekerja, negara memberi fasilitas membuka lapangan pekerjaan hingga seseorang bisa memenuhi kebutuhan keluarganya secara baik. Seiring waktu, stunting pun bisa dihilangkan. Jadi, satu-satunya sistem yang pantas untuk menyelesaikan masalah stunting secara serius hanyalah Islam. Wallahualam.***

[Moza Yana, S.Pd.]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *