LBH Pelita Umat: Mengkaji Khilafah Ajaran Islam tidak Dapat Dipersoalkan

by -17 views

Eradakwah.com – Merespon pembubaran paksa Multaqo Ulama di Pasuruan oleh sekelompok orang dengan tuduhan kajian khilafah,  ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat  Chandra Purna Irawan, S.H.,M.H. menyatakan bahwa mengkaji ajaran islam, khilafah sepatutnya tidak dipersoalkan secara hukum bahkan semestinya dilindungi.

“Sepatutnya mengkaji atau kajian terkait ajaran Islam dalam hal ini sistem pemerintahan Islam yaitu khilafah sepatutnya tidak dipersoalkan secara hukum bahkan semestinya dilindungi,” tulis Chandra dalam keterangannya, Jumat (23/6/2023) di Jakarta.

Chandra menyatalan jika mengkaji khilafah dipersoalkan maka sepatutnya harus adil yaitu mempelajari sistem pemerintahan lain semisal dari kapitalisme, demokrasi, parlementer, presidensial juga harusnya dipersoalkan.

Lebih lanjut dia menyatakan jika merujuk kepada hasil ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menyatakan khilafah dan jihad adalah bagian dari ajaran Islam. Termasuk pembahasan khilafah terdapat dalam kitab-kitab fiqih, tafsir, matan dan syarah hasis dan kitab tarikh.

“Bahkan salah seorang ulama nusantara yang salah satu karyanya pernah menjadi pegangan wajib perguruan menengah dan perguruan tinggi Islam di Indonesia dan Malaysia, yakni H. Soelaiman Rasjid bin Lasa, juga berbicara tentang khilafah di bukunya al-fiqh al-Islami (fiqh Islam),” jelasnya.

Lebih lanjut dia menyatakan bahwa khilafah bukan ideologi dan paham melainkan sistem pemerintahan Islam. Dalam hal ini dia merujuk pendapat H. Soelaiman Rasjid bin Lasa di bukunya al-fiqh al-Islami (fiqih Islam),

yang menyatakan “al-khilafah adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW., dan kemudian dijalankan oleh khulafaur rasyidin, kepala negaranya dinamakan khalifah.

Kaum Muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan khilafah adalah fardu kifayah atas semua kaum Muslim (H. Soelaiman, Fiqh Islam, Penerbit Sinar Baru Algesindo, cet. ke-80, Bandung, hlm. 494-495).

Tidak Wajib Izin

Chandra menegaskan bahwa kegiatan keagamaan tidak wajib izin dan tidak wajib pemberitahuan. Perlu diketahui tidak semua kegiatan harus ada izin dan pemberitahuan. Ada tiga jenis pembagian yaitu; pertama  wajib izin seperti kegiatan keramaian, misalnya pesta kembang api, konser dan lain-lain (berdasarkan pasal 510 KUHP )

Kedua wajib pemberitahuan dan tidak wajib izin, yaitu kegiatan menyampaikan pendapat dimuka umum seperti unjuk rasa, demonstrasi, pawai (Pasal 10 ayat (1) UU No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum)

Ketiga tidak wajib pemberitahuan dan tidak wajib izin, yaitu kegiatan keagaaman dan akademik kampus. (Pasal 10 ayat (4) UU No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum)

Chandra menegaskan bahwa menjalankan agama atau beribadah atau menyakini ajaran agama adalah hak asasi. Hak asasi itu artinya hak yang telah ada semenjak manusia lahir, atau hak yang telah ada meskipun tidak ada negara.

“Dalam konsep hukum, membicarakan hak dengan padanan kata right artinya kebebasan yang diberikan oleh hukum. Bandingkan dengan konsep hukum izin dengan padanan kata pembolehan, maka apabila menggunakan literatur yang ada, di mana izin adalah pembolehan di mana esensi sebelumnya merupakan tidak boleh,” paparnya.

Sehingga, lanjutnya, membicarakan hak tidak diperlukan izin. Sebuah konsep hukum yang tidak tepat apabila hak disandingkan dengan kata-kata izin. Dengan merujuk kepada prinsip yang berbeda antara izin dan hak maka mempunyai konsekuensi hukum.

“Izin memerlukan persetujuan dari pejabat yang berwenang, sedangkan hak tidak diperlukan persetujuan dari manapun,” pungkasnya. [] Abu Amri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *