Islamophobia, Akankah Terus Berulang?

by -23 views

Oleh: Sri Wahyuni, S.Pd*

Eradakwah.com – Ada yang berbeda dengan Idul adha kali ini. Disaat kaum muslim di berbagai penjuru dunia tengah merayakannya, namun sayang moment ini harus diwarnai dengan tindakan tak terpuji seorang pria asal Irak yang pindah ke Swedia, Salwan Momika. Apa yang dilakukannya dengan membakar kitab suci Al-quran menuai kecaman di seluruh dunia termasuk Indonesia, negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) dengan lantang mengecam tindakan tersebut melalui keterangan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim.

Dalam keterangan kepada media, Sudarnoto mengatakan kebebasan berpendapat dan berekspresi seperti ini sangat merugikan hak-hak warga lain terutama umat Islam yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dan oleh siapapun. Juga Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam cuitannya “mengecam keras aksi provokatif” dan menyatakan “tindakan ini sangat mencederai perasaan umat Muslim dan tidak bisa dibenarkan.” (BBC News Indonesia, 30/06/2023)

Mirisnya, kejadian ini adalah kali kedua terjadi di Swedia. Sebelumnya juga dilakukan oleh politikus sayap kanan Erasmus Paludan. Mengapa peristiwa semacam ini berulang? Padahal selalu direspon dengan kecaman dari seluruh dunia.

Dalam merespon kasus ini ada satu hal yang harus kita ingat bahwa penerapan kebebasan berekspresi telah mendorong setiap individu masyarakat utk bebas berbuat tanpa lagi memandang batasan, apakah itu adalah hal sensitif yang bisa memicu konflik. Bahkan seringkali sebuah aksi arogan yang jelas mengandung unsur penodaan agama juga pelecehan tokoh tertentu lalu berlindung dibalik kata kebebasan dan berakhir bebas dari jerat hukum. Memang demikianlah jika kebebasan tak berdasar pada standar yang jelas akan menimbulkan kebingungan dan kerancuan. Ini artinya pengulangan kasus serupa akan berpotensi besar terjadi lagi meskipun kecaman dunia terus dilayangkan. Karena pada dasarnya merespon hal semacam ini dibutuhkan sikap keberanian kaum Muslim terutama penguasanya sebagaimana yang ditunjukkan oleh Sultan Abdul Hamid II kepada Prancis karena telah melecehkan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam di salah satu teater, beliau berkata ” Aku akan menarik pedang ketika sedang sekarat. Aku akan menjadi debu dan terlahir kembali dari debuku, dan berjuang bahkan jika mereka memotong leherku demi melihat wajah Baginda Nabi SAW, Akulah Khalifah Umat Islam Abdul Hamid! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika kamu tidak menghentikan pertunjukkan tersebut,” Seketika itu pula pertunjukan teater tersebut dibatalkan.

Alih-alih melayangkan ancaman justru kini kaum Muslim terpecah suaranya. Ada yang sangat marah lalu mengecam dan ada pula yang merespon dengan tenang lalu berujar “tidak usah direspons dengan marah-marah. Al-Qur’an tidak akan hilang dan tetap hidup dalam perjalanan sejarah manusia.”  Hal ini disampaikan oleh Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Profesor Komaruddin Hidayat. Lanjut beliau, sebagai Muslim yang menjadi inspirasi sebaiknya insiden ini “Tidak usah direspons dengan marah-marah”.

“Mereka itu tidak tahu isinya. Jawab saja dengan prestasi keilmuan dan peradaban. Atau seni seperti yang ditunjukkan Putri Ariani,” katanya merujuk penyanyi Indonesia yang menjadi perbincangan warganet baru-baru ini karena mendapat golden buzzer dalam ajang America’s Got Talent ke-18.

Cukuplah Sultan Abdul Hamid menjadi teladan bagaimana merespon pelecehan. Jika Rasul sebagai penyampai kitabullah saja beliau respon dengan sangat marah disertai dengan ancaman, apalagi Alqur’an. Bukankah semestinya kaum Muslim seluruh dunia mengambil sikap yang sama yakni menantang siapapun yang melecehkan agama mereka. Bila perlu memutus hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Namun beranikah?

Kungkungan sistem demokrasi telah membuat umat lemah dan terjajah. Tak ada yang berani menantang berbagai kedholiman barat atas kaum Muslim kecuali sekedar kecaman. Tak ada satu pun penguasa Muslim yang berani mengomando pasukan untuk membela kehormatan agamanya. Tak ada yang seperti Al Mu’tashim Billah berani menerjunkan pasukan demi membela kehormatan seorang muslimah yang dilecehkan tentara Romawi. Apalagi yang seperti Rasulullah mengepung perkampungan Yahudi untuk membela nyawa seorang muslim yang dibunuh oleh orang yahudi.

Bukan karena jumlah muslim menjadi mayoritas. Tetapi selama kebebasan masih jadi standar dan suara umat masih terpecah mustahil penistaan agama dihentikan.

*Penulis adalah Praktisi Pendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *