Blue screen bertuliskan peringatan darurat belakangan ini viral di media sosial usai putusan Mahkamah Konstitusi dianulir oleh DPR RI. Lambang burung garuda berlatar biru dongker itu meramaikan jagat maya setelah diunggah oleh akun @BudiBukanIntel di akun X yang kemudian diangkat oleh @najwashihab, @narasinewsroom, @narasitv dan @matanajwa di Instagram dan X. Banyak aktivis, influencer dan artis yang meramaikan peringatan darurat tersebut, diantaranya sutradara Joko Anwar, Ernest Prakasa, Komika Panji Pragiwaksono, Komika Bintang Emon, penyanyi Fiersa Besari, LSM Indonesia Corruption Watch dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Peringatan darurat ini bermula dari penolakan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 pada 20 Agustus 2024 lalu. Pada hari yang sama MK juga memutuskan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah yaitu minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau walikota saat mencalonkan diri. Keputusan tersebut membuat Badan Legislatif (Baleg) DPR tiba-tiba menyepakati revisi UU Pilkada yang akan menganulir aturan MK hanya dalam tempo 7 jam setelah diputuskan. Tentu publik marah, sebab revisi UU Pilkada yang akan dilakukan DPR diduga akan menguntungkan Kaesang Pangarep untuk maju dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah.
Alhasil peringatan darurat mendorong lahirnya aksi demonstrasi penolakan revisi UU Pilkada yang direncanakan akan dilaksanakan pada Kamis, 22 Agustus 2024. Sejumlah elemen masyarakat dari mahasiswa, buruh, aktivis, selebriti dan komika turun ke jalan untuk menolak pengesahan revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR RI. Demonstrasi juga terjadi di sebagian daerah seperti Yogyakarta, Semarang, Bandung, Jambi, Padang, Lampung, Makassar dan Malang. Rapat revisi UU Pilkada yang direncanakan akan diselenggarakan pun akhirnya dibatalkan. Meski demikian, pembatalan rapat tersebut tidak menutup kemungkinan untuk dibahas kembali dan kemudian disahkan seperti yang telah terjadi pada UU Omnibus law yang disahkan pada malam hari.
Diklaim Sebagai Sistem Terbaik
Banyak masyarakat dan para pengamat politik yang mengangap bahwa konstitusi yang berlangsung di negeri ini sedang tidak baik-baik saja alias sedang dibegal. Dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Angraini menyatakan bahwa langkah-langkah DPR yang ingin mengubah apa yang menjadi isi putusan MK tentu saja bertentangan dengan konstitusi dan bisa disebut sebagai pembegalan atau pembangkangan terhadap konstitusi (bbc.com, 21/8/24). Bahkan masyarakat berpedapat bahwa petahana yang sedang berkuasa telah merusak amanat konstitusi yang harusnya berjalan sesuai putusan lembaga yudikatif yang bersifat final dan mengikat.
Diketahui bahwa Indonesia merupakan negeri yang mengadopsi sistem kapitalisme dengan menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terbentuk dari dua kata yakni demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Sesuai dengan maknanya, demokrasi merupakan sistem yang memberikan kedaulatan hukum di tangan rakyat. Artinya, rakyat diberikan kewenangan untuk mengatur kepentingan mereka melalui perwakilan mereka di lembaga legislatif. Sistem demokrasi digadang-gadang sebagai sistem pemerintahan terbaik karena memiliki sifat demokratis dan suka bermusyawarah. Sistem ini pun berjalan dengan trias political, dimana tiga cabang kekuasaan negara dipisahkan untuk menghindari kesewenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun bernarkan sistem ini berjalan demikian?
Kenyataannya, praktik kekuasaan yang berjalan dalam sistem demokrasi saling sikut, bertentangan satu sama lain dan merugikan rakyat. Masih ingat putusan MK tentang minimal usia pencalonan wakil presiden, penetapan RUU KUHP, RUU KPK dan RUU Omnibus Law dimana semua keputusan sangat sarat akan kepentingan segelitir orang. Dalam hal ini rakyat banyak sekali dirugikan oleh kebijakan yang katanya berasal dari wakil rakyat.
Anggota dewan di Parlemen sejatinya bukalah wakil rakyat, melainkan wakil partai politik. Mereka menjabat atas pencalonan parpol dan kemudian memaksa rakyat untuk memilih calon yang ada. Dalam proses pembuatan UU hanya elit terbatas yang dilibatkan. Wajar jika ditunggangi oleh kepentingan segelintir orang terutama kepentingan para pemilik modal. Inilah yang disebut simbiosis mutualisme. Bukan rahasia jika biaya mencalonkan diri di sistem demokrasi sangatlah mahal, elit politik membutuhkan modal sementara pemilik modal membutuhkan akses perizinan. Lalu dimana kebenaran slogan kekuasaan di tangan rakyat?
Kesalahan Sistem
Masih banyak masyarakat yang beropini bahwa kesalahan atas pelaksanaan demokrasi adalah salah individu yang sedang berkuasa. Padahal nyatanya sistem demokrasi lah yang sejak awal memberikan peluang penyelewengan kebijakan. Ada beberapa alasan mengapa demokrasi rusak sejak lahirnya, pertama, Ini karna asas dari kedaulatan dikembalikan kepada rakyat (manusia).
Dalam demokrasi yang menjadi pemutus hukum atas perbuatan manusia adalah akal. Akal manusia diberikan kewenangan untuk menilai baik atau buruk suatu benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya. Demokrasi lahir dari pemikiran para filsuf dan pemikir Barat setelah berdiskusi a lot dengan raja Eropa dan para gerejawan berkaitan siapa yang berhak mengatur urusan kehidupan mereka. Para pemikir ingin melenyapkan kezaliman yang telah lama terjadi karna tindakan otoriter raja dan para gerejawan pada saat itu. Padahal akal manusia begitu lemah, ketika ia diberi kekuasaan dalam mengatur semua hajat hidup manusia ia tak akan mampu mengakomodir seluruh kepentingan rakyat. Karna ia harus terjepit kerakusan tuntutan kepentingan dirinya maupun dari pemilik modal.
Kedua, aqidah yang melahirkan demokrasi adalah aqidah sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Aqidah ini lahir dari jalan kompromi antara para gerejawan yang diperalat raja dengan para filsuf yang mengingkari agama dan menolak otoritas para gerejawan. Aqidah sekuler ini tidak sepenuhnya mengingkari eksistensi agama akan tetapi hanya menghapus peran agama untuk mengatur kehidupan bernegara. Walhasil, konsekuensi dari aqidah tesebut ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk mengatur kehidupanya sendiri.
Ketiga, demokrasi memutuskan segala sesuatu berdasarkan suara terbanyak. Karna aqidahnya sekuler maka dalam demokrasi semua hal yang telah dilarang dalam agama jikapun mendatangkan manfaat bisa didiskusikan kembali untuk diambil kemanfatannya. Standar semacam ini tentu saja standar yang tidak jelas, rancu dan menabrak syariat. Bisa dibayangkan wakil dewan yang mendominasi suara dalam memutuskan hukum tidak akan melihat lagi halal-haram suatu hukum.
Keempat, kebebasan. Dalam sistem kapitalisme dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya mengusung empat kebebasan yakni kebebasan berpendapat, kebebasan bertingkah laku, kebebasan berkepemilikan dan kebebasan beragama. Keempat kebebasan ini tak boleh dibatasi justru harus dijaga atas nama HAM. Prinsip ini jelas bertentangan dengan Islam, sebab konsekuensi keimanan seorang muslim ialah wajib terikat dengan hukum syara’ dalam perbuatannya.
Alasan diatas jelas menunjukkan bahwa demokrasi bertentangan dengan syariat, dari kelahirannya pun jelas menyingkirkan peran agama sehingga tidak ada ruang agama dalam mengatur kehidupan. Aturan yang lahir dan terapkan cenderung mendewakan hawa nafsu kepentingan. Disinilah akan lahir penyimangan dan penyelewengan aturan meski notabennya demokrasi memiliki trias politica yang digadang-gadang menjadi polisi konstitusi.
Mahfud MD pernah berpesan, “Saat biaya politik semakin mahal, elit juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong kearah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga” (republika.com, 7/10/13). Sudah saatnya masyarakat Indonesia mencari sistem alternatif yang akan mampu berpihak kepada rakyat dan mengakomodinir semua kepentingan. Indonesia merupakan negeri mayoritas muslim tidakkah seharusnya kita kembali kepada identitas kita sebagai muslim?
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah:50). Wa’allahu alam
Oleh: Azrina Fauziah S.Pt
(Aktivis Dakwah)