Perkawinan anak dibawah umur masih menjadi sorotan hingga hari ini sebagai salah satu problem sosial kependudukan di Indonesia. Di tahun 2023 bahkan menurut UNICEF negeri ini menempati peringkat 4 dunia untuk jumlah kasus perkawinan anak di bawah usia 18 tahun. Meskipun data yang dirilis oleh Kementrian PPPA menunjukkan penurunan angka perkawinan anak di tiga tahun terakhir ini, namun jumlahnya masih terbilang cukup tinggi dan dinilai oleh banyak pihak sebagai penghambat terwujudnya generasi berkualitas. Sebagaimana disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, bahwa untuk mencapai bonus demografi maka perlu mewujudkan Pendidikan dan Kesehatan yang terjamin bagi generasi sehingga penting untuk menghilangkan isu-isu negatif seperti putus sekolah dan pernikahan dini (kemenag.go.id, 20/9/2024).
Menyikapi hal ini berbagai program diluncurkan oleh pemerintah diantaranya melalui pembinaan pelajar sekolah yang dilatih untuk menyebarkan pesan tentang bahaya nikah dini dan menjadi agen untuk mencegah perkawinan anak. Selain itu pemerintah juga menggerakkan para penghulu untuk menjadi salah satu garda untuk mencegah pernikahan di bawah umur dengan melakukan edukasi kepada calon pengantin. Sebagaimana yang dilakukan baru-baru ini sebanyak 1.276 penghulu se-Jawa Barat termasuk penghulu di Kabupatan Pangandaran mengikuti Workshop Gerak Penghulu Sejuta Catin Siap Cegah Stunting Zona 1 (pangandaran.kemenag.go.id, 17/09/2024).
Pemerintah memiliki paradigma bahwa perkawinan anak adalah salah satu penghambat terwujudnya generasi berkualitas. Juga di klaim bahwa hal itu dapat memicu naiknya problem sosial lain seperti tingginya angka perceraian, angka putus sekolah, kematian ibu dan bayi, termasuk angka stunting dan fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Meski sebenarnya tidak ada data yang jelas menunjukkan korelasi pernikahan dini dengan problem-problem diatas. Namun yang cukup ironis adalah bahwa pemerintah menganggap pernikahan dini remaja adalah problem, sementara maraknya pergaulan bebas remaja yang berujung pada kehamilan tidak diinginkan (KTD) justru tidak pernah menjadi sorotan, padahal ini adalah problem pangkal. Bahkan data menunjukkan tingginya perkawinan anak adalah karena faktor kehamilan tidak diinginkan.
Pencegahan Perkawinan Anak Menjadi Agenda Global
Program Kependudukan PBB (UNFPA) menjadikan isu ini sebagai salah satu fokus perhatian mereka. UNICEF menilai pernikahan di bawah umur banyak membawa dampak buruk bagi anak-anak juga dianggap melanggar dasar hak asasi anak. Karena membatasi pendidikan, kesehatan, penghasilan, keselamatan, kemampuan anak, dan membatasi status dan peran. Namun nyatanya dibalik itu terlihat ada sebuah ambisi besar global dalam proyek ini. Hal tersebut bisa dilihat ketika PBB merekomendasikan batas usia pernikahan berkaitan dengan usia kerja. Maka dapat diketahui target ambisi PBB yang sesungguhnya melalui badan internasionalnya cukup jelas yaitu memanfaatkan produktivitas generasi muda untuk kepentingan industrialisasi dan korporasi global. Generasi masa depan adalah laba yang harus mereka perhitungkan.
Selain itu pencegahan perkawinan anak sebenarnya adalah amanat SDGs yang merupakan proyek global barat yang harus diwujudlkan juga di negeri-negeri muslim. Tentu saja proyek tersebut berpijak pada paradigma Barat, yang nyata-nyata bertentangan dengan syariat Islam. Target mereka diantaranya adalah pengentasan stunting dan pencegahan pernikahan anak. Angka perkawinan anak ditargetkan turun dari tahun ke tahun. Padahal dengan penurunan angka perkawinan artinya akan berdampak kepada berkurangnya angka kelahiran dalam keluarga, bahkan di negeri-negeri muslim akan berdampak pada hancurnya institusi keluarga muslim.
Sudah semestinya para penguasa negeri muslim lebih fokus pada maraknya seks bebas di kalangan remaja, hamil di luar nikah, serta IMS dan HIV/AIDS yang makin tidak terkendali. Bahwa semuanya tidak akan selesai dengan pencegahan pernikahan dini. Problem mendasarnya adalah kehidupan liberal serba bebas yang melingkupi, menekan, mendidik, dan memberi pengaruh negatif pada generasi. Maka pemerintah perlu punya keberanian melakukan perubahan sistem. Mencabut penerapan sistem kehidupan sekuler liberal yang selama ini melemahkan pemikiran dan mental generasi. Pemerintah juga harus berani melepaskan diri dari dikte korporasi global. Sebaliknya, pemerintah harus bernyali mengambil sistem Islam yang akan mampu membangun karakter unggul generasi. Keluarga dan Generasi Indonesia membutuhkan Al-Qur’an dan Sunah untuk menerangi kehidupan dengan syariat yang sempurna.
Sistem Islam Melindungi Generasi
Liberalisme adalah nilai-nilai Barat yang diadopsi di negeri muslim melalui sistem demokrasi. Melalui tekanan internasional negeri-negeri muslim senantiasa menjadi pasar bagi gagasan-gagasan barat yang merusak. Maka dengan sistem Islam akan menolak semua dikte global terkait pembangunan sumber daya manusia tersebut. Karena Islam memiliki role mode sendiri terkait profil generasi penakluk yang akan membangun peradaban.
Sistem Islam akan menerapkan solusi tuntas problem generasi diantaranya, pertama, kurikulum di sekolah dan pendidikan keluarga harus mampu menyiapkan anak yang sudah balig agar mampu menanggung taklif hukum yang menjadi tanggung jawabnya. Kurikulum agama (dari SD, SMP, SMA) harus membahas tentang pernikahan dan aturan pergaulan sesuai Islam. Dengan demikian negara wajib menyiapkan kematangan anak agar siap menikah, bahkan seharusnya memberi kemudahan menikah. Berkaitan dengan sistem pergaulan laki-laki dan perempuan, ajaran Islam mewajibkan menutup aurat, melarang khalwat, melarang komunikasi yang tidak ada kebutuhan syar’i antara keduanya, juga mewajibkan untuk menundukkan pandangan, atau dengan kata lain melarang pacaran dan pergaulan bebas.
Dalam Islam, tidak ada batasan umur pernikahan. Artinya, berapa pun usia calon suami istri, tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum balig sekalipun. Di dalam ilmu fikih, balig—jika dikaitkan dengan ukuran usia—adalah berkisar 15 tahun (laki-laki) dan 9 tahun (perempuan). Tidak tercapainya keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah bukan karena umur mereka yang masih dini, melainkan karena mereka tidak disiapkan secara matang untuk memasuki pernikahan.
Kedua, media seharusnya menjadi media edukasi bagi masyarakat. Artinya, media mendidik dan menjadikan masyarakat makin bertakwa, bukan malah sering mempertontonkan pornografi-pornoaksi yang menjadikan nafsu seks masyarakat makin membara, terlebih remaja yang memang masanya pubertas. Negara harus melarang segala bentuk pornoaksi-pornografi dan hal-hal yang mendekati zina. Jika ada yang melanggar, harus mendapat sanksi yang menjerakan.
Ketiga, pemerintah wajib mengeluarkan aturan pergaulan dan haramnya zina, larangan mendekatinya, serta memberikan sanksi sesuai Islam. Demikian solusi yang harus kita lakukan. Tidak ada jalan lain menyelamatkan negeri ini, kecuali kembali merujuk pada penerapan syariat Islam kafah agar negeri ini berkah, masyarakat sejahtera, dan bahagia dunia akhirat. Wallahualam bissawab
FATA VIDARI, S.Pd (Guru dan Aktivis Peduli Generasi)