Peran Militer dalam Perspektif Islam (Menyoal Polemik Revisi UU TNI)

by -4 views

Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang nomer 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam sidang paripurna pada hari kamis 20 Maret 2025 lalu. Keputusan ini diambil secara aklamasi oleh seluruh fraksi di parlemen, termasuk partai yang sebelumnya dikenal sebagai oposisi. Dewan Namun, di sisi lain, kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa menentang keras revisi ini karena dinilai membuka kembali ruang bagi militer untuk masuk ke ranah sipil. Trauma sejarah kelam orde baru yang sudah lama terkubur saat ini kembali membawa ketakutan bagi rakyat tentang bagaimana militer (TNI-Polri) terlibat menjadi aktor politik mengelola negara.

Penolakan dari Berbaga Elemen Masyarakat

Sebelumnya, proses pengesahan revisi UU TNI dilakukan di tengah gelombang penolakan dari berbagai kalangan, dari masyarakat sipil hingga mahasiswa. Kelompok masyarakat sipil menganggap proses pembahasan RUU TNI terburu-buru dan minim keterlibatan partisipasi publik. Mereka juga khawatir dampak jika tentara dapat menduduki jabatan sipil. Berbagai aksi protes dilakukan diantaranya sejumlah massa melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR RI dengan mendirikan tenda bahkan pada saat yang bersamaan dengan gelar rapat paripurna, namun seakan tidak digubris bahkan berakhir dengan pengusiran mahasiswa yang melakukan aksi tersebut. Bahkan hingga hari ini setelah hampir 3 pekan sejak disahkan penolakan terhadap RUU TNI masih terus disuarakan dengan menggelar aksi damai mendirikan tenda didepan gerbang Pancasila, Gedung DPR RI (kompas.com, 7/04/2025).

Penolakan juga datang dari seluruh pelosok negeri. Para mahasiswa dari berbagai kota bangkit menolak revisi RUU TNI. Aksi tersebut tidak hanya berlangsung di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, dan Surabaya. Namun juga di Tasikmalaya, Sukabumi, Jember, Blitar, Lumajang, Banyuwangi, dan lain-lain. Aksi demonstrasi diwarnai intimidasi, kekerasan, dan penangkapan oleh aparat keamanan yang melibatkan tentara. Bahkan di Surabaya, dua jurnalis juga tidak luput menjadi korban kekerasan dan intimidasi polisi (bbc.com, 24/03/2025).

Sementara di Banyuwangi, penolakan juga ramai dilakukan. Massa yang tergabung dalam Aliansi Banyuwangi Bergerak mendesak pemerintah pusat mengeluarkan Perppu untuk pembatalan RUU TNI yang telah didok. Serta menolak segala upaya militerisasi institusi sipil dan mengembalikan peran TNI hanya dalam bidang pertahanan negara. Mereka juga meminta adanya transparansi dan partisipasi publik dalam setiap pembahasan kebijakan yang berdampak pada supremasi sipil dan demokrasi (kabarbanyuwangi.co.id, 26/03/2025).

Implikasi Revisi UU TNI

Berbagai elemen masyarakat terutama para pengamat, akademisi, juga pegiat Demokrasi melakukan analisa dampak serta implikasi adanya pengesahan UU TNI. Diantaranya pasal kontroversial yang menimbulkan kekhawatiran adalah pemberian izin bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil di kementrian maupun Lembaga non kementrian . Banyak pihak menilai kebijakan ini membuka peluang bagi militer untuk kembali berperan ganda seprti di era orde baru yaitu Dwifungsi militer di era Presiden Soeharto, yang praktiknya telah dihapus dalam reformasi 1998. Dimana mereka tidak hanya menjalankan fungsi pertahanan tetapi juga memainkan peran signifikan dalam politik dan pemerintahan. Dan jika dibiarkan akan semakin memperkuat kekebalan hukum anggota TNI yang berpotensi meningkatkan pelanggaran berat HAM di masa depan (cnnIndonesia, 17/03/2025).

Sementara itu menurut Peneliti di Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI) Dr. Riyan mengatakan revisi ini diduga kuat merupakan upaya rezim untuk memperoleh dukungan TNI dalam konsolidasi politik. Riyan melihat, setelah mendapat dukungan 58% dari rakyat di pilpres 2024, kemudian yang dilakukan pemerintah dan DPR adalah merevisi UU Kementerian Negara yang menghasilkan kabinet gemoy, dengan menarik sebanyak-banyaknya berbagai elemen politik dan masyarakat. Selain itu menurutnya penambahan instansi baru yang dapat diduduki tentara aktif tentu makin meluaskan pengaruh tentara, yang seharusnya fokus ke pertahanan negara. Mengutip data Laboratorium Indonesia Emas 2045 (LAB 45), Riyan menyebut sudah ada 2.569 perwira TNI menduduki jabatan sipil di sejumlah kementerian dan lembaga negara pada era pemerintahan Presiden Jokowi. Selanjutnya, secara sosiologis langkah revisi UU TNI ini makin memperkuat pola kepemimpinan yang populis-otoriter. Yaitu penciptaan citra rezim yang “merakyat” melalui berbagai program populer, seperti MBG (makan bergizi gratis) sebagaimana juga bantuan sosial (bansos), tetapi karena akumulasi dan legitimasi kekuasaan makin besar, maka hal ini berpotensi bahaya ketika pemimpin makin otoriter dalam memaksakan agenda kekuasaan melalui berbagai bentuk kebijakan. “Hal ini berpotensi menjadikan TNI bisa dijadikan alat kekuasaan untuk menekan hak-hak masyarakat. Jadilah abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan),” ungkapnya (mediaummat.info, 20/03/2025).

Selain itu pasal-pasal tersebut berpotensi membahayakan profesionalisme militer dan menimbulkan pecah konsentrasi. “Dampaknya, tentu buruk bagi TNI yang harusnya fokus untuk pertahanan negara dari berbagai kekuatan luar yang mengancam. Padahal TNI sebenarnya mempunyai permasalahan kompleks baik dalam konteks internal maupun eksternal yang mengganggu kedaulatan negara. Bahkan kita mengetahui negeri ini menghadapi ancaman geopolitik dan geostrategis. Indonesia dekat dengan konflik Laut Cina Selatan yang menjadi ancaman nyata bagi kedaulatan Indonesia (mediaummat.info, 23/03/2025).

Tak luput dari sorotan, Keterlibatan TNI dalam urusan pemerintahan daerah Provinsi Jawa Barat beberapa waktu lalu setelah disahkan revisi UU TNI juga dinilai kian mengancam supremasi sipil. Masyarakat khawatir pelibatan militer dalam urusan pembangunan di daerah hanya menjadi alat penggebuk bagi mereka yang kontra terhadap kebijakan. Apalagi keterlibatan militer dalam urusan pemerintahan daerah semakin dilegitimasi dalam revisi Undang-Undang TNI yang sudah disahkan. Pemakluman represifitas yang dimaksud bisa terjadi manakala terjadi konflik antara masyarakat dan pemerintah dalam urusan pembebasan lahan, terutama jika lahan tersebut berstatus sebagai proyek strategis nasional atau PSN. Masih belum lepas dari ingatan konflik antara warga Pulau Rempang dengan prajurit TNI adalah salah satu peristiwa imbas pelibatan militer dalam urusan pembangunan infrastruktur di daerah. Meski hanya berperan sebagai pengamanan, faktanya represifitas terjadi kepada warga yang menolak pembangunan Rempang Eco-City (tempo.co, 4/4/2025).

Demokrasi Kapitalisme dan Dominasi Militer

Demokrasi dalam sistem kapitalisme seringkali menjanjikan supremasi sipil atas militer. Artinya militer tunduk pada kebijakan dan keputusan politik yang ditetapkan Presiden melalui mekanisme ketatanegaraan. Sehingga peran militer dalam demokrasi, didalam teorinya adalah sebagai instrumen penjaga keamanan, bukan pengambil kebijakan, jadi tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Namun realitas Demokrasi menunjukkan bahwa oligarki politik dan ekonomi memiliki pengaruh yang lebih besar dalam menentukan kebijakan negara. Dalam konteks ini, militer sering digunakan sebagai alat menjaga stabilitas kekuasaan, bukan semata mempertahankan negara dari ancaman eksternal.

Pergeseran peran militer dalam sistem kapitalisme demokrasi bukanlah fenomena baru. Dalam banyak negara, Demokrasi memberikan ruang bagi kepentingan elite untuk memanfaatkan militer sebagai alat kontrol politik. Sejarah mencatat bahwa di berbagai negara kapitalis, militer seringkali dilibatkan dalam dinamika politik domestik, baik melalui kebijakan formal maupun praktik informal yang memperkuat posisi mereka dalam pemerintahan. Oleh karenanya, Revisi UU TNI ini tampak sebagai upaya semakin melanggengkan kekuasaan oligarki dan kepentingan para kapital melalui jalur militerisme. Juga agar semakin membungkam sikap kritis rakyat apalagi upaya amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa.

Islam Menata Hubungan Militer dan Pemerintahan

Dalam Islam, militer memiliki fungsi yang jelas dan tidak boleh digunakan sebagai alat politik penguasa. Islam mengatur bahwa militer bertugas menjaga kemanan negara dan jihad melindungi umat dari ancaman luar, bukan untuk terlibat dalam pemerintahan sipil dan instrument politik penguasa. Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rosul (Nya), dan ulil amri diantara kamu”. (Q.S. AnNisa:59) Ayat ini menunjukkan bahwa dalam Islam, pemimpin harus ditaati selama mereka menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum syara’, bukan berdasarkan kepentingan politik atau ekonomi semata. Dalam sistem kapitalisme militer seringkali diperalat untuk kepentingan politik penguasa, sementara dalam Islam kekuasaan harus tunduk pada hukum Allah.

Selain itu Rosulullah SAW juga bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian” (H.R. Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa pemimpin dalam Islam harus mengutamakan kesejahteraan umat, bukan menjadi musuh dan menakut-nakuti umat dengan memaksakan dominasi militer dalam meriayah umat.

Militer adalah bagian penting dalam Islam karena menjadi ujung tombak dalam aktivitas Jihad fisabilillah untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Jihad itu hukumnya fardu bagi kaum muslim, dan pelatihan militer menjadi sebuah keharusan bagi orang balig dari kaum muslim, baik laki-laki atau perempuan. Oleh karena itulah, seorang Amir Jihad menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mengorganisasi angkatan bersenjata sehingga bisa melaksanakan kewajiban utamanya, yakni jihad, dengan sebaik mungkin.

Adapun khalifah, ia menjadi pemimpin tertinggi angkatan bersenjata. Dialah yang mengangkat dan memberhentikan Amir Jihad. Amir Jihad menentukan kepala staf (ra’is al-arkan) dalam angkatan bersenjata dan menentukan amir untuk setiap bendera (liwa) dan kepala untuk setiap divisi. Dalil atas hal ini adalah bahwasanya Rasulullah saw. memimpin langsung angkatan bersenjatanya atau menentukan para amirnya (panglima) sebagaimana dalam perang Badar al-Kubra dan Khandaq yang beliau memimpin langsung angkatan bersenjata, atau perang Mu’tah yang beliau menetapkan beberapa panglima yang akan memimpinnya.

Pada masa Umar ra, khalifah juga selalu membantu keluarga para tentara. Dalam hal ini Umar ra. berkata, “Jika kalian kehilangan (wafatnya para tentara, penerj.) pada hari peperangan, kamilah yang akan menjadi abu al-‘iyal (orang tua bagi keluarga korban).” Khalifah memberi nafkah kepada mereka dan mengurus segala urusan mereka, juga mengantarkan surat-surat dari dan untuk mereka yang menjadi penghubung antara mereka dengan para pejuang di medan jihad (muslimahnews.net, 15/03/2022). Maka tidak ada pilihan lain sebagai solusi atas carut marutnya polemik antara penguasa dengan rakyat saat ini selain solusi Islam yang paripurna dalam bentuk negara Khilafah. Umat harus dicerahkan paradigma berfikirnya untuk melirik solusi terbaik dari Allah SWT sehingga umat bersegera menuntut ditegakkannya hukum Allah dalam kehidupannya.

Fata Vidari, S.Pd
(Guru dan Aktivis Peduli Generasi)
Banyuwangi, Jawa Timur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *