Eradakwah.com – Menanggapi kabar tentang adanya rencana pemerintah akan menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi, Pengamat Ekonomi Dr. Arim Nasim mengatakan bahwa akar masalah karut-marut bahan bakar minyak (BBM) yaitu karena liberalisasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia.
“Bahwa akar masalah karut-marut BBM itu sebenarnya mengerucut pada satu, yaitu liberalisasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,” ujarnya dalam Kajian Ekonomi Islam: Prinsip Pengelolaan BBM Dalam Islam, di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Ahad (2/7/2023).
Termasuk dalam hal ini adalah bahan bakar minyak dan gas, karena gas dan minyak itu biasanya tidak bisa dilepaskan, sehingga ketika berbicara tentang BBM biasanya juga dikaitkan dengan gas,
Menurut praktisi pendidikan dari kota Bandung ini, ada enam faktor yang menyebabkan mahalnya harga BBM di Indonesia. Yang pertama adalah seperti yang saya katakan tadi liberalisasi sektor Migas. Inilah yang menyebabkan harga BBM itu menjadi lebih mahal dari yang seharusnya,” ujarnya.
Ia menjelaskan salah satu dampak dari liberalisasi migas ini adalah, bahwa sumber-sumber minyak dan gas hampir dikuasai sepenuhnya oleh pihak swasta. Sumber-sumber migas itu hanya dikuasai oleh segelintir orang, baik di Indonesia maupun juga dalam konteks internasional.
Ia mengatakan perusahaan-perusahaan internasional seperti Chevron dan Shell nyaris mendominasi pengelolaan sektor Migas di berbagai negara. “Sehingga kalau kita lihat dengan liberalisasi migas ini, swasta itu tadi mengendalikan harga, menentukan harga, yang pada akhirnya pemerintah kemudian tidak berdaya,” ujarnya menegaskan.
Kedua adalah sudut pandang pemerintah yang menganggap bahwa subsidi adalah beban. “Jadi kalau kita bicara terkait dengan karut-marut pengelolaan BBM sehingga kemudian menyebabkan harga BBM mahal, itu tidak lepas dari sudut pandang yang seolah – olah subsidi itu merupakan beban bagi negara. Padahal seharusnya itu dianggap sebagai sebuah kewajiban negara memberikan pelayanan terhadap rakyat,” jelasnya.
Ia mengatakan wajar jika rakyat mendapatkan subsidi, karena sebagian besar pendapatan negara dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) bersumber dari pajak. “Jadi menurut saya, problem yang menyebabkan carut-marutnya BBM ini karena sudut pandang subsidi yang selalu kemudian dianggap sumber masalah APBN. Padahal ada yang lebih besar yang membebani APBN, yaitu bunga utang luar negeri. Tapi itu tidak pernah dianggap sebagai sebuah masalah,” paparnya.
Ketiga adalah karena pemerintah tidak memiliki political will yang cukup kuat untuk membangun kilang, sehingga permintaan BBM impor terus meningkat. Hal ini tentu membahayakan dan menyebabkan keamanan energi Indonesia menjadi rentan karena sangat tergantung kepada impor.
Keempat adalah karena hampir semua objek transaksi jual beli dengan masyarakat dibebani dengan pajak. “BBM juga ternyata tidak lepas, pemerintah juga mengenakan komponen Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak PBM terhadap harga yang dijual kepada masyarakat,” ujarnya.
Kelima adalah sistem ekonomi kapitalis yang melahirkan para spekulan yang bermain di bursa komoditi. Menurutnya bahwa kenaikan harga minyak mentah yang sekarang ini terjadi, tidak semata-mata ditentukan oleh supply and demand. “Jadi pernah harga minyak mentah itu naiknya luar biasa, padahal tidak ada pertambahan permintaan yang signifikan. Ternyata salah satu faktornya itu adalah permainan di pasar komoditas berjangka,” jelasnya.
Lebih lanjut Arim mengatakan permainan di pasar komoditas ini kadang-kadang menyebabkan harga minyak mentah naik secara tiba-tiba atau sebaliknya tiba-tiba harganya jatuh. “Jadi ini juga muncul kalau kita lihat dalam sistem ekonomi kapitalis, yang menjadikan transaksi-transaksi di pasar modal, dalam konteks ini pasar komoditas, itu kemudian menjadi permainan para spekulan untuk meraih keuntungan yang yang sebesar-besarnya,” ungkapnya.
Keenam adalah terkait dengan nilai kurs rupiah terhadap dolar. Dia menjelaskan bahwa saat ini produksi minyak Indonesia sangat tergantung dari impor. “Jadi jumlah produksi minyak kita itu sekitar 800.000 barrel, sementara kebutuhan itu kurang lebih 1.500.000, hampir setengahnya itu kan didapatkan dari impor,” ungkapnya.
“Dan ketika impor, maka harganya itu kan, selain harganya tinggi, juga nilai tukar rupiah terhadap dolar itu juga jeblok. Ini juga semakin memperparah kondisi carut marutnya harga BBM,” pungkasnya.***
Muhammad Sholeh