Eradakwah.com – Hasil pertambangan mineral batuan bahan galian salah satu pasir laut menjadi komoditas tambang yang menjanjikan. Demi pembangunan dengan lahan baru berbagai negara seperti Singapura melakukan reklamasi. Sehingga mereka membutuhkan impor pasir laut untuk melancarkan proyeknya. Namun bagi Indonesia yang melakukan ekspor pasir laut justru memperoleh polemik.
Kebijakan Presiden Joko Widodo yang membolehkan ekspor pasir laut menuai polemik. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pasal 9 PP tersebut menyatakan hasil sedimentasi yang dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur. Dalam ayat 2, hasil sedimentasi tersebut bisa digunakan untuk ekspor. (Tirto.id, 9/6/2023)
Kebijakan hari ini mengenai pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang digunakan untuk ekspor menuai polemik dikarenakan mengganti aturan lama. Banyak menteri yang menanggapi mengenai kebijakan tersebut seperti Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Bahkan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menanggapi polemik ini dengan harapan Presiden Jokowi membatalkan keputusannya.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berharap Presiden Joko Widodo membatalkan keputusannya dalam membuka keran ekspor pasir laut. “Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut,” tulis Susi dalam akun resmi Twitternya, Senin (29/5) (Cnnindonesia.com, 9/6/2023)
Eksploitasi pasir laut yang terjadi jelas-jelas menyebabkan kerusakan lingkungan seperti meningkatnya abrasi, menurunnya kualitas perairan laut, merusaknya wilayah pemijahan ikan dan masih banyak yang lainnya. Dibalik keuntungan yang diperoleh ada harga yang dibayar yaitu kerusakan ekosistem. Selain itu, ekspor pasir laut yang dianggap ‘menguntungkan’ sesungguhnya merugikan ekosistem laut yang pada akhirnya akan membahayakan kehidupan rakyat.
Sesungguhnya Indonesia memiliki sumber lain yang mampu memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ekspor pasir laut melalui pengelolaan sumber daya alam secara mandiri. Sayangnya, saat ini dikelola oleh asing. Dimana negara seolah-olah mendapatkan keuntungan dari pajak penambangan dan kegiatan ekspor. Namun sebenarnya yang memperoleh keuntungan hanyalah oligarki. Mereka melakukan eksploitasi pasir laut dengan sepuasnya untuk dijual ke negara yang membutuhkan. Inilah potret nyata dari kehidupan yang menerapkan sistem kapitalisme.
Adapun dalam sistem kapitalisme yang memiliki kuasa hanyalah orang memiliki modal saja. Sehingga pengusaha diperbolehkan menggali sumber daya alam untuk menguntungkan pihaknya dengan cara apa saja. Dengan demikian negara memiliki peran hanya sebagai regulator yaitu pembuat peraturan agar pihak lain yang diuntungkan.
Berbeda dengan sistem Islam memberikan tuntunan bagi negara tentang sumber pemasukan negara, salah satunya dengan mengelola sumber daya alam. Hasil pengelolaan ini akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk fasilitas gratis dalam layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Sehingga negaralah pihak yang satu-satunya yang mengelola sumber daya alam untuk dimanfaatkan memenuhi kebutuhan rakyat.
Dalam sistem Islam pemimpin membuat kebijakan sesuai dengan pemanfaatan lingkungan dengan melakukan pengkajian khusus oleh akademisi dan para ahli. Hal ini dikarenakan dinamika wilayah pantai dan daerah pesisir yang dangkal beraneka ragam. Sehingga pengelolaannya mengutamakan kelestarian lingkungan hidup dan kebutuhan manusia. Bukan justru melakukan ekspor pasir laut sesuai keuntungan ekonomi semata.
Wallahu a’lam bish shawaf.***
[Ernita S]