Eradakwah.com – Tanggal 29 September 2022, DPR RI telah mengesahkan UU Nomor 28 tahun 2023 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, yang menunjukkan postur penerimaan APBN 2023 Indonesia sekitar 80 persen diambil dari perpajakan, dinilai Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky sangat menyedihkan.
“Sangat menyedihkan ya. Di saat negara ini dibangga-banggakan punya kekayaan alam yang luar biasa tapi kekayaan alamnya tidak berpengaruh terhadap pendapatan negara. Yang kita lihat justru mayoritas pendapatan APBN digenjot dari pajak,” tuturnya dalam Bincang Bersama Sahabat Wahyu: Benarkah APBN 2023 Memeras Rakyat? di kanal YouTube Megapolitan News Forum, Ahad (15/1/2023).
Bukan pemerintahan yang baik, jika Pemerintah yang suka memajaki rakyatnya, menurutnya, ciri pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang sedikit mungkin untuk menarik atau membebani rakyatnya dan sebanyak mungkin untuk membantu rakyatnya.
“Kalau negeri ini terbalik. Pajaknya jauh lebih besar daripada pos untuk melayani rakyat. Ini artinya rakyat yang dibebani untuk biaya membangun negera seperti keamanan, pendidikan, dan lain-lain. Target penerimaan pajak 80 persen atau sekitar 2 triliun ini terlalu luar biasa dalam menghisap rakyat,” ujarnya.
Penetapan Pajak pertambahan nilai (PPN), di Indonesia sebesar 11 persen, sedangkan negara Thailand dan Singapura hanya membebankan 7 persen untuk PPN, ketika bandingkan dengan negara tersebt ternyata PPN Indonesia paling besar.
“PPN ini kan menyasar semua warga dan semua transaksi, baik miskin atau kaya. Jadi dengan PPN 11 persen ini sangat tinggi dan membebani serta menghisap uang rakyat. Dari kacamata agama, pemerintah ini seperti pemerintah fase keempat yang istilahnya fase mulkan jabariyyan (penguasa diktator). Ciri-cirinya adalah pemerintah yang suka membebani rakyat dengan berbagai pajak atau menghisap rakyatnya dengan berbagai pungutan, sementara melayaninya begitu sedikit,” bebernya.
Pemerintah, lanjutnya tidak layak meminta dari rakyat padahal ada kekayaan alam yang besar. “Harusnya pemerintah malu sama Allah yang telah memberikan kekayaan alam begitu banyak tapi tidak berdampak pada kesejahteraan,” ucapnya.
Dengan postur penerimaan mayoritas dari pajak, ia menilai, tidak ada bedanya negeri ini dengan pemerintahan kolonial yang memang tugas utamanya menarik pajak yang sangat membebani. “Saya pikir ini catatan buruk di pemerintahan kita bahwa semakin lama mengelola negeri ini justru semakin membebabi rakyat dengan berbagai pungutan,” imbuhnya.
Menurutnya, kekayaan alam yang dimiliki Indonesia seharusnya bisa memberikan kontribusi pemasukan APBN. Jika tidak ada kontribusinya, berarti ada salah urus dan salah kelola atas kekayaan alam yang ada.
“Dengan pengelolaan kekayaan alam yang benar, maka kekayaan alam ini akan berkontribusi positif pada pendapatan negara untuk kesejahteraan rakyat seperti yang pernah terjadi pada masa kekhilafahan Islam,” pungkasnya.