EraDakwah.com – Memperbincangkan kekuasaan dalam dunia demokrasi tak lekang oleh perpanjangan masa jabatan penguasa. Baik masyarakat kelas bawah atau elit politik kelas atas. Kalau urusan ini semua pun mau. Bahkan kalau bisa seumur hidup menjadi kades atau presiden, betul?
Pasca mencuatnya isu 3 periode perpanjangan masa jabatan presiden, Selasa (17/1/2023) Ratusan Kepala Desa asal Kabupaten Malang ikut bergabung melakukan aksi damai di Jakarta. Mereka mendesak adanya revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, khususnya pada pasal 39.
Tuntutan masa jabatan Kades inilah yang mereka suarakan. Jabatan Kades dari 6 tahun, menjadi 9 tahun. Alasannya, masa jabatan 6 tahun dianggap tidak cukup untuk menuntaskan persoalan dan membangun desa, usai Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Menurut Hendik, setelah ada UU Desa, masa jabatan Kades menjadi 6 tahun. Padahal, banyak persoalan timbul usai Pilkades. Padahal, tugas besar Kades usai pesta demokrasi tingkat desa berakhir, agenda selanjutnya yakni memulihkan ketidakharmonisan warga, dibutuhkan waktu 1 hingga 2 tahun. (https://beritajatim.com/politik-pemerintahan/kades-tuntut-masa-jabatan-9-tahun-begini-penjelasannya/)
Demokrasi Onde Mande
Kemunculan demokrasi yang diadopsi di Indonesia menimbulkan ekses negatif. Pasalnya liberalisasi politik terkait pemilihan pemimpin dari tingkat bawah hingga atas sering menimbulkan konflik. Meski diingatkan dengan ‘Persatuan Indonesia’ tapi untuk urusan dukung mendukung anak bangsa kerap berseteru.
Hanya demi ego dan syahwat kekuasaan, rakyat kerap dikorbankan. Tak ayal, konflik kepentingan di tengah masyarakat mencuat. Polarisasi tak terelakkan lagi hingga kini. Intinya, pemecah belah masyarakat bukanlah agama. Justru pilihan politik demokrasi yang melanggengkan itu semua.
Demokrasi ‘onde mande’ pasca reformasi perlu diwaspadai. Apalagi mesin-mesin politik pemburu kekuasaan bekerja demikian massif, terorganisir, bahkan menghabiskan dana miliaran. Setiap ada pemilihan dan suksesi muncul banyak relawan. Deklarasi relawan di mana-mana.
Tim IT untuk opini disiapkan menggempur media sosial dan dunia digital. Atas nama kemenangan semua dilakukan. Konsekuensinya dana yang dibutuhkan mulai miliaran hingga triliunan. Hal ini menampik jika pribadi politisi miliki kekayaan ini. Mana ada politisi tajir melintir yang membiayai dirinya sendiri untuk sebuah kemenangan?
Masyarakat publik saat ini seyogyanya menyadari hakikat demokrasi. Jangan termakan isu seolah demokrasi sekadar memilih. Ada udang di balik batu yang rakyat tak pernah tahu. Kondisi ini pun memperpuruk masyarakat yang asyik masyuk dan memilih apolitik. Mengapa demokrasi onde mande? Berikut beberapa pon pentingnya:
Pertama, demokrasi itu berasas liberalisme dan sekularisme. Kemunculannya bukan dari Islam maka jangan sampai terkecoh untuk menyamakan. Libealisme inilah yang menjadikan kebebasan dan kebablasan. Berbuat seenaknya dan tak paham aturan agama. Pun aturan bisa dibuat dan disesuaikan.
Kedua, demokrasi tidak didesain untuk memilih pemimpin yang mumpuni. Lebih sekadar mekanisme siapa yang bisa mencalonkan diri dengan mengabaikan kemampuan. Yang penting miliki modal, mudah viral, dan paling dikenal.
Ketiga, demokrasi memunculkan asas manfaat. Sistem politik yang lebih mementingkan urusan ego pribadi, kelompok, dan kroni. Kelompok oligarki memiliki kepentingan ekonomi. Disiapkanlah dana jika jadi akan berpihak keputusannya kepada yang menyumbangkan dana. Kalau tak bisa mendapatkan kedudukan, paling tidak dapat kemudahan dan akses kemanfaatan.
Keempat, polarisasi yang muncul dari politik demokrasi telah menyimpan api dalam sekam. Sewaktu-waktu akan meledak. Maka tak heran, jika dalam setiap pemilihan perseteruan antar kelompok dalam dukungan tak terelakkan. Upaya untuk merajut pun belum tentu berhasil. Antar tetangga benci. Antar saudara benci. Bukankah mereka juga terkadang satu aqidah? Lantas kenapa berpecah belah. Bukankah mereka satu bangsa Indonesia? Lantas kenapa sekadar urusan dunia ini tak akur satu dan lainnya.
Kelima, perpanjangan jabatan bukanlah sebuah solusi dan jalan keluar dari kegentingan dan persoalan selama ini. Sebab asas demokrasi yang rusak maka buah dan hasilnya menimbulkan kerusakan. Karenanya, mindset terkait demokrasi perlu diset.
Alhasil, demokrasi onde mande jadikan rakyat memble. Rakyat tak mendapatkan apa-apa, malah terseret dalam konflik politik berkepanjangan. Demokrasi menjadi alat perusak kehidupan dan masyarakat terliputi kekelaman sebuah sistem buatan manusia yang lemah.
Pelajaran Penting
Ketika kebodohan politik merebak saat ini, masyarakat pun lebih disibukkan urusan pribadi. Akibat kehidupan yang jauh dari kelayakan dan tiadanya back up dari negera terkait sandang, pangan, dan papan. Apatis kepada politik oleh rakyat dimanfaatkan politisi untuk membeli suara. Suara rakyat dibeli 50 ribuan hingga ratusan ribu demi sebuah kepemimpinan hitungan beberapa tahun.
Setelah itu rakyat kembali gigit jari. Politisi merasa sudah membeli suara dengan mengabaikan suara rakyat ketika berkuasa. Kepala desa dalam struktur yang memegang teritorial terabatas sebenarnya merupakan hierarki kepemimpinan republik. Kepala melaksanakan tugas dan fungsi mempunyai wewenang:
- memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
- mengangkat dan memberhentikan Perangkat Desa;
- memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
- menetapkan Peraturan Desa;
- menetapkan APB Desa;
- membina kehidupan masyarakat Desa;
- membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
- membina dan meningkatkan perekonomian desa serta
- mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar besarnya kemakmuran masyarakat desa
- mengembangkan sumber pendapatan desa;
- mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa;
- mengembangkan kehidupan sosial masyarakat desa;
- mengembangkan dan membina kebudayaan masyarakat desa;
- memanfaatkan teknologi tepat guna;
- mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
- mengadakan kerjasama dengan pihak lain sesuai peraturan perundang-undangan;
- mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Jabatan ini pun sangat diminati. Calon kades pun rela merogoh kocek lebih dalam tanpa pertimbangan matang. Oleh karena itu, selama kerangka pemilihan dan soal perpanjangan waktu jabatan dalam sistem demokrasi, maka selama itu pula persoalan yang timbulkan dari demokrasi berupa polarisasi, kongkalikong politisi ologarki, hingga korupsi yang menjadi-jadi tidak akan pernah selesai.
Kini rakyat Indonesia yang mayoritas muslim harusnya menyadari, Islam memiliki mekanisme khas dalam politik. Politik yang bermakna mengurusi urusan umat dengan syariah. Serta amanah untuk teguh di jalan Allah SWT. Memilih kepala desa pun tidak perlu pakai model pilkades langsung.
Cukup ditunjuk khalifah untuk menjalankan amanah. Jangan dibayangkan penunjukannya karena sebab AMPI (Anak, Mantu, Putra/Putri, Ipar) atau kepentingan kekeluargaan. Penunjukkanya untuk menjaga syariah kaffah, amanah, kapabel, tidak disetir, dan paham jika ini ada pertanggungjawaban kepada manusia dan Tuhan.[]
Oleh: Hanif Kristianto
(Analis Politik-Media di PKAD)