Oleh: Sri Wahyuni, S.Pd*
Eradakwah.com – Di Banyuwangi angka perceraian terus meningkat. Tahun ini tercatat sebanyak 2.622 pasangan resmi bercerai. Angka tersebut nyaris menyusul tingginya kasus perceraian tahun 2022 lalu sebanyak 5.663. Panitera muda Pengadilan Agama Banyuwangi Djunaidi Icwantoro menyampaikan penyebab perceraian paling banyak dipicu faktor ekonomi. Sedangkan di tahun 2022, selain faktor ekonomi, paling banyak pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Ada juga faktor perzinahan. Salah satu pasangan menghianati janji sucinya dengan menjalin hubungan dengan orang lain,” jelasnya. Djunaidi menambahkan, angka tersebut masih terus bertambah dikarenakan ada beberapa permohonan perceraian belum diputuskan. “Angka perceraian masih berpotensi bertambah.” (Radar Banyuwangi, 17 Juli 2023)
Kasus perceraian di Indonesia memang terus meningkat tiap tahun. Merujuk laporan statistik Indonesia per Mei 2023, pada 2022, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus.
Miris, maraknya perceraian jelas mengindikasikan iklim yang tidak sehat di masyarakat kita. Ada begitu banyak faktor pemicu dan bahkan satu sama lain saling terkait. Mulai dari pandangan menikah yang penting laku, ingin segera keluar dari rumah, hingga alasan cinta. Sementara pandangan menikah yang harusnya memiliki kesamaan visi serta memiliki bekal agama seringkali diabaikan. Juga terkait gaya hidup konsumerisme, dimana kebutuhan dan keinginan seringkali terbalik pemenuhan nya. Sementara rata-rata pendapatan masyarakat kita bahkan tak cukup sekedar memenuhi kebutuhan pokok. Akhirnya kondisi ini bisa memicu pertengkaran hingga berujung KDRT. Sementara dalam kasus lain ketika keluarga tersebut telah mapan secara ekonomi ancaman perceraian juga terjadi. Terlebih jika sosok istri juga turut mencari nafkah. Kesibukan keduanya menyebabkan saling tuntut perihal urusan anak yang ujungnya memicu cekcok. Belum lagi soal tata pergaulan yang makin bebas. Sudahlah hubungan suami istri tak harmonis makin berpotensi terjadi kasus perselingkuhan imbas bebasnya interaksi laki-laki dan perempuan.
Begitu kompleks menyoal masalah perceraian yang tentu tak bisa sekedar di solusi salah satunya. Menyiapkan kesadaran calon pasangan yang hendak menikah tanpa didukung perihal ekonomi jelas sangat berat, pun ketika lapangan kerja yang tersedia cukup untuk kehidupan yang layak namun ilmu agama minim juga jelas berpotensi memicu perselingkuhan. Termasuk perihal ketidaksetaraan peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga yang disebut memicu perceraian juga tak bisa dibenarkan. Sebab tak ada jaminan kesetaraan peran melanggengkan rumah tangga. Faktanya Kasus kawin cerai marak terjadi di kalangan publik figur, bukankah mereka setara dari sisi peran? Bahkan urusan anak seringkali dibantu pengasuh.
Sesungguhnya urusan rumah tangga tak akan serumit ini seandainya terdapat sinergitas antara individu, sistem ekonomi, sistem hukum dan juga urusan politik. Dimulai dari kesadaran individu masyarakat dalam memahami perkara pernikahan bahwa laki-laki dan perempuan mengemban amanah yang berbeda sebagaimana hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar,
“Kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan diminta pertanggungjawaban, seorang imam adalah pemimpin dan ia nanti akan diminta pertanggungjawaban, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia nanti akan diminta pertanggung jawabannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia nanti akan diminta pertanggungjawabannya.”
Kesadaran adanya perbedaan peran keduannya membuat tak saling menuntut hak karena telah terpenuhi kewajiban masing-masing.
Sementara itu negara dalam Islam juga berperan untuk menyiapkan warganya siap memasuki jenjang pernikahan. Mulai dari memahamkan bagaimana kehidupan suami istri, ilmu parenting, pemenuhan gizi, pengaturan keuangan, dll. Semua hal yang dikhawatirkan berpotensi menghancurkan ikatan pernikahan akan diminimalisir dengan edukasi yang dibutuhkan. Tak hanya itu termasuk soalan ekonomi negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja bagi para penanggung nafkah.
Namun untuk mewujudkan pernikahan yang kokoh dibutuhkan penerapan syariat Islam kafah, sebab jika masih bertahan dengan konsep hidup sekuler institusi pernikahan akan terus mengalami goncangan.
*Penulis adalah Praktisi Pendidikan