Oleh : Eka Kirti Anindita, S.Pd.*
Eradakwah.com – Mengarungi bahtera rumah tangga yang harmonis menjadi dambaan semua pasangan. Saat dua insan diikat dalam janji suci pernikahan, impian sehidup semati selalu disematkan. Keinginan hidup bahagia sepanjang usia senantiasa menenangkan jiwa. Namun, bagaimana jika harapan itu hancur tak tersisa?
Perceraian, menjadi kisah tragis yang seolah menjadi biasa. Terhitung sejak Januari hingga Juni 2023, tingginya kasus perceraian di berbagai daerah kini menjadi trend. Sebut saja Bojonegoro yang tembus 1.500 kasus, Banyuwangi 2.622 kasus, Surabaya 2.805 kasus, bahkan Jawa Timur meraih peringkat kedua perceraian tertinggi dengan total 102.065 kasus sepanjang 2022. Mungkin itu tak terjadi dalam keluarga kita, tapi jika kasus ini terus melangit, bagaimana nasib para generasi?
Jika ditelusuri, ‘nakalnya’ para generasi tak lepas dari kurangnya perhatian orang tuanya. Di rumah, mereka hanya tinggal dengan nenek atau kakek sedangkan orang tua telah berpisah lalu pergi entah ke mana. Minimnya perhatian, kasih sayang, dan didikan dari orang tua memicu mereka untuk melampiaskan emosi dan pikiran dengan hal yang negatif. Ya memang tak semua begitu, tapi banyak. Coba kita hitung, berpa banyak anak yang terlibat narkoba, seks bebas, tawuran, bahkan LBGT hingga terkena HIV/AIDS? Kalau perceraian meningkat, meningkat pula orang tua yang abai dengan anak, bukankah problem generasi tadi juga bisa meningkat?
Terima kasih kepada segenap pihak, mulai dari pemerintah dan ormas yang gencar mengadakan berbagai program seperti konseling pra nikah, Keluarga Sakinah, Sekolah Perempuan Capai Impian dan Cita-cita (Sekoper Cinta), Pembinaan Perkawinan dan Calon Pengantin, dan berbagai program lainnya untuk mencegah dan menyolusi kasus perceraian. Namun, angka perceraian masih saja tinggi, bahkan meningkat dari tahun sebelumnya. Mengapa?
Menurut Guru Besar IPB, Prof. Euis Sunarti, tingginya perceraian disebabkan oleh ragam masalah dan tantangan di setiap anggota keluarga. Keluarga Indonesia tumbuh dalam keragaman agama, suku, bangsa, adat, dan budaya, status sosial, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), status kesehatan, ragam zona ekologi, dan sebagainya. Semua itu jika tidak dikelola dengan baik maka akan menjadi tantangan bagi pola nafkah yang bisa menyebabkan perceraian.
Belum lagi adanya Revolusi industri 4.0 ternyata turut menyumbang dampak terhadap retaknya keluarga. Ketidaksiapan keluarga menghadapai volatile, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA) akan melahirkan keluarga yang pecah atau mengalami perceraian. Keluarga pun menghadapi residu ancaman dan resiko dari teknologi informasi media social (medsos). Di mana terdapat konten pornografi dan penyimpangan seksual, serta menjadi jalan perselingkuhan.
Dari analisis Prof. Euis Sunarti terkait faktor penyebab tingginya angka perceraian di atas menunjukkan bahwa persoalan ini bukan persoalan suami istri semata, tapi juga dipengaruhi oleh sistem yang dijalankan di tempat hidup mereka. Apalagi mayoritas alasan perceraian adalah karena tekanan ekonomi. Kalau sudah menyangkut urusan perut dan kelangsungan hidup maka sebanyak apapun nasihat, konseling, dan bimbingan akan mudah terpental.
Ditambah lagi jika proses menuju pernikahannya ternyata melalui cara yang salah. Seperti pacaran, married by accident (MBA), atau ingin hartanya saja.
Dari awal hingga pernikahan, agama tak dijadikan panutan, hanya dipakai sebatas legalitas. Istilah pernikahan untuk menyempurnakan separuh agama, hanya fatamorgana.
Semua kondisi seperti ini adalah akibat gencarnya kampanye moderasi beragama. Agama hanya sebatas ritual, tak perlu dipakai dalam pergaulan atau kehidupan sehari-hari. Pihak yang paling bertanggung jawab dengan kondisi ini adalah negara yang telah gagal menanamkan nilai religius pada masyarakat, tidak ada suasana ketaatan di masyarakat, keluarga, maupun tempat lainnya. Artinya, penting adanya hukum-hukum perlindungan keutuhan keluarga yang mestinya dijalan oleh berbagi pihak, mulai dari pasangan suami istri, keluarga, maupun masyarakat.
* (Aktivis Komunitas Istri & Ibu Shalihah)