Eradakwah.com – Persoalan aksesibilitas di dunia pendidikan tak kunjung berakhir. Banyak anak yang sulit melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi, faktor nilai akademik yang tidak memenuhi syarat, hingga daya tampung sekolah yang tidak mampu mencukupi jumlah peserta didik yang lulus setiap tahunnya. Bahkan, solusi zonasi telah dicoba namun untuk kesekian kalinya pula membuahkan masalah.
Sebagaimana dilansir oleh media tempo.com, bahwa kecurangan terkait PPDB 2023 terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Karawang, Bogor, Bekasi, Pekanbaru dan Bengkulu. Di Karawang, Orang tua calon siswa mengeluarkan uang 3 juta hanya karena ingin mendapat kursi sehingga anaknya bisa masuk ke sekolah yang diinginkan; “Biaya atau tarifnya lumayan, istilahnya itu beli kursi,” ungkap salah satu orang tua calon siswa yang enggan di sebut namanya.
Selain itu, ada juga pungli (pungutan liar), sekolah membebankan biaya daftar ulang sebesar Rp. 800.000 akan tetapi yang harus di bayar adalah 1 juta dengan dalih penambahan biaya atribut sekolah dan ini berlaku untuk semua orang tua calon siswa. Di Bengkulu, Feriansyah (Kepala Bidang Litbang Pendidikan) mengatakan bahwa selama PPDB tidak hanya terdapat jalur zonasi, prestasi dan afirmasi saja akan tetapi ada juga jalur intervensi, intimidasi dan surat sakti diman kecurangan ini dilakukan oleh sejumlah guru (tempo.com/13/7/2023).
Merespons terjadinya kisruh PPDB zonasi, pemerhati kebijakan publik Noor Afeefa menilai, ini bukan semata persoalan teknis.
“Harus dipahami bahwa kisruh PPDB zonasi ini bukan semata persoalan teknis. Problem susahnya mencari sekolah berkualitas lagi murah sudah lama terjadi sebelum sistem zonasi itu diterapkan,” tuturnya MNews, Ahad (23-7-2023).
Dalam pandangan Afeefa, kisruh PPDB ini menunjukkan abainya negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan semua warga. Menurutnya, negara atau pemerintah adalah penanggung jawab urusan pendidikan.
“Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan pendidikan sehingga ketika ada siswa miskin yang harus bersekolah di swasta yang notabene mahal, maka pada saat itu negara telah berlaku zalim karena memaksa orang yang tidak mampu, mengeluarkan biaya di luar kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya,” tukasnya.
Buah Kapitalisme
Jika kita berkaca pada kisruh PPDB 2023, ada dua masalah pokok yang luput dari perhatian pemerintah.
Pertama, paradigma tentang sekolah. Cara pandang masyarakat mengenai sekolah favorit dan tidak favorit ini sendiri tidak terlepas dari paradigma pendidikan sekuler kapitalistik yang mengukur segalanya dari materi. Contohnya, sekolah favorit hanya untuk orang-orang pintar dan kaya, sedangkan siswa yang “tidak pintar” hanya bisa bernaung di sekolah ala kadarnya yang minim fasilitas dan sarana prasarana.
Kedua, pemerataan pendidikan tidak akan terwujud jika infrastruktur pendidikan belum terpenuhi di seluruh wilayah. Adanya kasta, gengsi sekolah, hingga perbedaan infrastruktur, menjadi titik balik adanya favoritisme dalam dunia pendidikan. Buktinya, ada orang tua yang rela menghalalkan segala cara agar anaknya dapat masuk ke sekolah yang fasilitasnya sudah bagus dan dikenal sebagai sekolah unggulan atau berprestasi.
Ada pula yang tidak berkenan di sekolah dekat dengan rumah lantaran fasilitas penunjang belajar dinilai minim dan kurang berkembang. Alhasil, banyak orang tua lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di swasta meski berbiaya mahal ketimbang sekolah negeri, tetapi minim sarana dan prasarana.
Persoalan aksesibilitas yang tak kunjung usai sebenarnya sebuah kewajaran tatkala kita hidup dalam sistem kapitalisme. Negara yang mengakar di dalamnya prinsip materialistik, tidak akan memandang pendidikan sebagai kebutuhan tapi sebuah barang yang hanya bisa dicapai ketika ada uang. Karena itu, dalam tata kelolanya pendidikan diliberalisasi. Berlakulah prinsip ‘yang ingin mendapatkan sekolah bagus, maka harus mau merogoh kocek lebih’. Negara tidak akan menyediakan fasilitas pendidikan sesuai kebutuhan, tapi akan memberi ruang bagi swasta untuk membuka sekolah sebagai ‘saingan’ dan alternatif solusi melihat kuantitas dan kualitas sekolah negeri yang rendah.
Imbasnya, beberapa sekolah negeri kekurangan siswa. Bahkan, ada yang menerima satu siswa saja, padahal lokasi sekolah dekat dengan pemukiman warga. Artinya, dari aspek penyediaan fasilitas sekolah, pemerintah lalai memberikan pelayanan pendidikan secara merata. Jangan heran jika sistem zonasi akan menghadapi polemik tahunan.
kisruh PPDB zonasi sebenarnya bukan persoalan teknis semata. “Ini merupakan persoalan sistemis. Oleh karena itu, selayaknya masyarakat berpikir untuk membenahi persoalan pendidikan ini dengan kacamata ideologis.
Islam memberi solusi
Di dalam Islam, Menuntut ilmu adalah kewajiban. Rasulullah bersabda : ”Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan.” (HR. Muslim).
Hadits ini memberikan makna bahwa apabila di antara kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan terhalang mengakses pendidikan karena faktor ekonomi maka kewajiban negara untuk membuatnya dapat menunaikan kewajibannya. Jika masyarakat terhalang mengakses pendidikan karna faktor daya tampung sekolah juga menjadi tanggung jawab negara menyelesaikannya dengan memperbanyak dan memperbaiki kualitas fasilitas pendidikan.
Pendidikan merupakan kebutuhan masyarakat yang wajib disediakan negara di dalam Islam. Artinya negara wajib memastikan masyarakat dapat mengakses pendidikan dimanapun ia berada dengan latar belakang apapun tanpa memandang nilai akademik sekalipun. Akses dalam hal ini menyangkut semua aspek, jenjangnya, biayanya, jaraknya, jumlahnya, fasilitasnya, dan lain-lain. Negara melakukan ini semua semata-mata ketaatannya kepada Allah ta’ala.
Namun, persoalan aksesibilitas pendidikan tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi yakni pembiayaan terhadap pendidikan. Di sistem kapitalisme ini lah faktornya, minim biaya untuk pendidikan. Dengan sebuah pandangan bahwa pendidikan itu tanggung jawab individu bukan negara. Maka perlu diterapkannya sistem ekonomi Islam sehingga memiliki anggaran yang cukup untuk mendirikan sekolah murah bahkan gratis dan berkualitas. Masyarakat pun terikat dengan hukum syariat.
Pendidikan dibiayai oleh harta Baitul Maal, yaitu pos keuangan yang bersumber dari fai’, kharaj, dan harta kepemilikan umum. Kepemilikan umum dalam Islam meliputi kekayaan alam yang sifatnya tidak dimiliki oleh perorangan karna jumlahnya yang tidak terbatas atau diumpamakan seperti air yang mengalir.
Adanya pos-pos khusus untuk pemasukan negara termasuk hasil pengelolaan kekayaan alam yang berlimpah ruah menjadikan negara dalam Islam punya cukup dana untuk pembiayaan pendidikan. Bahkan bukan hanya itu, pos kepemilikan umum sangat cukup untuk membiayai kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Menjadi wajar apabila, kebutuhan ini bisa diakses oleh masyarakat tanpa biaya.
Potret sejarah penerapan aturan-aturan Islam dalam pembiayaan pendidikan ini tercermin dari sejarah Kekhilafahan Islam. Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di Baghdad contohnya. Siswa-siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Tak hanya itu, keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitasnya pun lengkap seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Tentu tidak ada kekhawatiran tentang daya tampung karna itu jelas diperhatikan utama oleh negara.
Inilah wujud sistem pendidikan yang menggambarkan bagaimana Islam memberi tuntunan penyelenggaraan urusan publik khususnya pendidikan. Jangankan soal daya tampung, Islam justru beberapa langkah lebih maju dari sistem pendidikan sekarang. Islam bukan lagi sibuk dengan persoalan teknis tapi bagaimana mencetak generasi terbaik (khairu ummah) yang akan terwujud dengan sinergi terbaik mulai dari keluarga, masyarakat, dan negara.
Wallahu’alam bish shawab.
Oleh : Nurul Isda