Eradakwah.com – Reputasi lembaga pendidikan tinggi kaitannya dengan kualitas mutu pendidikan serta pengelolaannya di Indonesia penting dicermati masyarakat. Mutu pendidikan dipandang oleh masyarakat umumnya diukur dari output tertentu yang sifatnya materialistis dan keduniawian semata.
Hal ini wajar karena paradigma berpikir di tengah masyarakat terpengaruh suasana pemikiran kapitalisme. Umumnya orang berpendapat bahwa belajar di perguruan tinggi yang memiliki reputasi baik dapat memberikan jaminan untuk mengantarkan peserta didik berhasil sesuai harapan.
Fenomena ini perlu dikupas agar muncul pemahaman yang benar di tengah masyarakat mengenai standar ideal terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Secara teknis perlu ada uraian mengenai pola dan bentuk penjaminan kualitas pendidikan. Pada kasus penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, urusan penjaminan mutu pendidikan dapat dievaluasi sebuah lembaga yang diwadahi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANPT).
Berbagai ukuran standar penilaian ditetapkan oleh badan berwenang tersebut untuk diikuti semua institusi penyelenggara pendidikan tinggi. Adapun sebagai salah satu tolok ukur reputasi dunia, untuk urusan penjaminan kualitas mutu pendidikan juga banyak tersedia lembaga akreditasi tingkat Internasional.
Lembaga akreditasi nasional maupun internasional tersebut lahir karena memiliki peran dan fungsi evaluasi sesuai standar tertentu.
Dalam upaya memperoleh reputasi yang baik, kampus tentu mengerahkan segenap sumber daya yang dimiliki agar target institusi tercapai ideal sesuai standar. Pola penyelenggaraan layanan pendidikan diatur oleh kampus dengan menerapkan semangat efektivitas dan efisiensi.
Kebijakan kampus akan mencermati atas sumberdaya yang telah dikeluarkan sembari mengkalkulasi nilai kemanfaatan yang diperoleh dengan berorientasi hasil. Tentu pola ini sudah menjadi hal normative yang dilakukan para pihak pengelola kampus.
Pengaruh Kapitalisme pada manajemen kampus
Hitungan untung rugi adalah ciri khas dari budaya kapitalistik yang saat ini menggejela di semua lini kehidupan masyarakat. Kedigdayaan paham kapitalis dengan karakter memisahkan urusan kehidupan dunia dengan norma agama telah berhasil memaksa kampus berhaluan demikian.
Kampus dalam mengelola pendidikan terpaksa menghitung segala aspek sumberdaya berdasar logika bisnis.Wajar jika biaya operasional kampus yang termasuk di dalamnya untuk mendapat reputasi menyedot sumberdaya yang tidak sedikit. Paradigma Kapitalisme membuka seluas- luasnya persaingan antar kampus dengan pola mengejar reputasi.
Oleh karena reputasi menjadi sebuah mekanisme daya tawar, maka kampus merasa harus memenuhi tuntutan tersebut. Reputasi dipandang memiliki kaitan kuat terhadap eksistensi kampus untuk menarik minat masyarakat.
Animo masyarakat dipandang kampus sebagai obyek kajian penting karena berhubungan dengan pendapatan untuk belanja operasional pendidikan. Kelicikan Kapitalisme sungguh telah berhasil membuat kampus harus berjibaku memikirkan pemasukan untuk operasional layanan.
Kapitalisme dengan haluan sekulernya telah mampu mengkondisikan pengurangan fungsi Negara terhadap pendidikan. Kapitalisme berpandangan bahwa sebuah kemajuan akan terealisasi jika persaingan dan kebebasan itu terbuka luas.
Negara yang terlalu banyak ikut campur dalam dunia kampus dipandang Kapitalisme justru akan membatasi perkembangan dan kemajuan. Kampus harus diberikan kebebasan penuh dalam pengelolaannya.
Paham Kapitalisme berpendapat bahwa Negara harus memberikan kewenangan kepada Kampus untuk mencari sumber pendapatan secara mandiri. Termasuk jika mengharuskan kampus menarik biaya secara langsung ke masyarakat atau dengan upaya lain yang bisa diberdayakan.
Cara pandang yang menyempitkan peran Negara dengan dalih kebebasan kampus melalui impian semu yang sering digaungkan dengan sebutan “Otonomi kampus”. Di sinilah asal mulanya aroma bisnis nampak terasa dalam proses pengelolaan pendidikan tinggi.
Dengan adanya kebijakan yang mengatur bahwa kampus berwenang menetapkan tarif biaya pendidikan ke masyarakat, maka operasional pendidikan dapat terbantu dari sumber ini. Secara finansial pola ini tentu dapat mengurangi beban Negara namun menambah beban di masyarakat.
Tarif pendidikan yang harus dibayar oleh masyarakat peserta didik tentu akan terasa mahal. Pasalnya kondisi perekonomian saat ini tidak begitu bersahabat dengan masyarakat. Segala hal diatur oleh mekanisme pasar bebas. Masyarakat dibiarkan bersaing secara luas untuk bertahan hidup. Di sisi lain peran Negara yang minim untuk memperhatikan permasalahan perekonomian.
Parameter pendidikan tinggi yang ideal
Semua pihak perlu memahami bahwa urgensi pendidikan mestinya dapat mengarah pada output peserta didik menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta tetap tertanam norma keimanan kepada Allah SWT Pencipta kehidupan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tetap harus didampingi dengan kebijaksanaan aspek keimanan agar seimbang dalam penerapan serta untuk menjaga keharmonisan kehidupan.
Sebenarnya mempertahankan reputasi yang berhubungan dengan mutu dan kualitas pendidikan adalah hal yang wajar. Bahkan parameter reputasi juga perlu dirumuskan dengan bijaksana. Penentuan reputasi kampus mestinya disandarkan pada output secara hakiki dari tujuan pendidikan.
Oleh karena itu menjadi pondasi penting mengenali tujuan hakiki pendidikan. Pola ini tentu dipengaruhi oleh motivasi dari para pemilik kebijakan yang berwenang mengatur urusan pendidikan. Tujuan pendidikan hakiki mestinya mampu mengarahkan peserta didik untuk meningkatkan taraf kualitas kehidupan menjadi lebih baik dan mengarah pada pengenalan terhadap keagungan Pencipta. Inilah konsep pendidikan yang berwawasan keimanan.
Pendidikan yang mampu mengarahkan pada output peningkatan keimanan kepada Allah SWT adalah taraf pembelajaran yang terbaik. Hal ini dapat dipahami karena segala fenomena yang ada di dunia ini tidak lepas dari kekuasaan Allah SWT. Sedianya motivasi demikian yang diperlukan untuk menjadi dasar tingkat keberhasilan pendidikan.
Dalam tataran praktis, konsep pendidikan yang mengarah pada peningkatan keimanan tentu harus diwujudkan dalam bentuk serangkaian kurikulum dan model pembelajaran yang relevan. Pendidikan tinggi harus menjadikan tolok ukur konsep ini dalam membangun reputasi dengan pendekatan objektif dan rasional.
Reputasi pendidikan tinggi tidak boleh mengacu pada dorongan bisnis ala Kapitalisme. Sifat dari kapitalisme dengan karakter khas yaitu pemisahan urusan agama dari kehidupan sungguh nyata telah menyebabkan banyak kerusakan.
Logika bisnis yang mengeksploitasi pengetahuan menyebabkan ilmu seperti menara gading yang menjadi sulit dijangkau masyarakat. Faktor keterjangkauan ilmu ini menjadi faktor biaya operasional pendidikan mahal dari sisi ekonomi dan berdampak pada kesenjangan di tengah masyarakat.
Negara harus menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dalam bidang pendidikan. Bahkan seharusnya perlu dibuka seluas-luasnya kepada masyarakat agar ilmu dapat berkembang lebih pesat. Dalam kontek negara mestinya mampu menyediakan sarana tersebut jika dikelola dengan benar dan sesuai fitrah manusia. Belajar mestinya gratis dan dijamin oleh negara.
Solusi Islam dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi
Reputasi pendidikan tinggi berkonsep keimanan seperti inilah yang dirindukan umat. Hanya Islam yang memiliki konsep pendidikan yang sesuai dengan fitrah, memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Pendidikan milik semua orang, Islam dengan seperangkat aturannya akan memposisikannya secara adil dan berguna bagi khalayak.
Dalam pandangan islam mencari ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
Dari hadis ini tentu akan dapat mendorong setiap muslim untuk mencari ilmu sampai level yang maksimal termasuk sampai level pendidikan tinggi. Motivasi kaum muslimin untuk menuntut ilmu ini akan menjadi dasar pertimbangan kuat lebih dari sekedar urusan reputasi dan status akreditasi penyelenggara pendidikan.
Semangat umat untuk memperoleh akses pendidikan tinggi ini perlu difasilitasi oleh Negara. Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW sebagai kepala Negara pernah menjadikan tawanan perang badar yang tidak memiliki tebusan kemudian sebagai penggantinya tawanan tersebut mengajarkan anak – anak kaum Anshar menulis.
Tindakan Nabi SAW ini dapat dijadikan dalil bahwa kepala Negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis kepada rakyatnya. Tawanan perang merupakan ghanimah (harta rampasan perang) dan termasuk harta milik Negara yang dibelanjakan untuk keperluan kaum muslim.
Singkirkan Kapitalisme yang salah, ganti dengan konsep islam !
Merujuk pada kisah Nabi di atas, mestinya Negara mengambil peran yang lebih untuk mensupport kampus agar mampu mengelola layanan pendidikan tinggi secara maksimal. Sumber – sumber pendapatan Negara yang dialokasikan untuk sektor pendidikan tentu akan menjadi prioritas yang wajib dipenuhi. Pendidikan adalah aset Negara untuk menopang keberlanjutan dan masa depan.
Alhasil, jika Negara dikelola dengan konsep sistem islam, otomatis akan memaksa Kapitalisme disingkirkan dari kehidupan. InsyaAllah rakyat tidak perlu merasa berat di ongkos (mahal) untuk menjangkau layanan pendidikan tinggi. Kampus juga tidak semestinya merasa berbisnis secara ekonomi dengan masyarakat untuk urusan ilmu yang mendukung masa depan negara. Wallahu’alam bi ash-shawab.***
Sugiyatno, [Praktisi Kampus].