Eradakwah.com — Kementerian Sosial melalui Sekjennya menyampaikan bahwa 63% dari total Sekolah Rakyat yang direncanakan pemerintah telah beroperasi. Hingga 14 Juli 2025, sebanyak 63 dari 100 sekolah telah aktif dan menjangkau 9.705 anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem di seluruh Indonesia.
Sekolah yang digagas Presiden Prabowo ini memang ditujukan khusus untuk mereka yang memenuhi syarat dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Berkonsep sekolah berasrama, tujuannya untuk memberikan akses pendidikan lebih luas dan berkualitas, serta untuk memutus mata rantai kemiskinan. Semuanya diberikan gratis bagi siswa.
Proses pembelajarannya mengacu pada kurikulum standar pendidikan nasional (mata pelajaran formal). Selain itu, ada beberapa penambahan materi khusus yang bertujuan menekankan karakter, kepemimpinan, nasionalisme, dan keterampilan sesuai kebutuhan siswa di lingkungan mereka.
Berbeda dengan sekolah formal umumnya, Sekolah Rakyat menggunakan sistem multi-entry dan multi-exit. Artinya, murid tidak harus masuk pada tahun ajaran yang sama. Mereka bisa masuk kapan saja sesuai kesiapan dan tidak harus memulai dari kelas yang sama. Kenaikan kelas pun akan disesuaikan dengan tingkat capaian setiap individu.
Nantinya, akan dibangun 100 lokasi meliputi Pulau Jawa sebanyak 48 sekolah, Sumatra (22), Sulawesi (15), Bali (4), Nusa Tenggara (4), Kalimantan (4), Maluku (4), dan Papua (3). Totalnya akan menampung sebanyak 20.000 siswa. Tentu saja, jumlah ini masih sangat kurang jika dibandingkan jumlah seluruh anak tidak mampu yang butuh pendidikan benar-benar gratis dan berkualitas di seluruh Indonesia.
Pemerintah juga menganggarkan untuk satu siswa Sekolah Rakyat sebesar Rp48 juta per tahun yang digunakan untuk mencukupi berbagai kebutuhan guna mendukung proses pembelajaran. Dengan anggaran sebesar ini, akankah berhasil? Juga seberapa kuat kebijakan populis ini bertahan di tengah kemiskinan yang terus meningkat dan karut-marutnya berbagai kebijakan, baik politik dan ekonomi?
Sebagai bagian dari kebijakan terkait pendidikan, meski banyak yang berharap Sekolah Rakyat menjadi solusi bagi kalangan tertentu, tetapi hal ini patut untuk dianalisis, mengapa baru saat ini pemerintah fokus pada rakyat miskin, bahkan miskin ekstrem? Ke mana saja kelompok marginal ini? Sudah sedemikian parahkah politik pendidikan negeri ini hingga meninggalkan mereka? Juga apakah pendidikan yang mereka terima nantinya benar-benar sesuai dengan tujuan hakiki mereka belajar?
Problem Akses Pendidikan
Hadirnya Sekolah Rakyat tidak bisa dilepaskan dari problem akses pendidikan yang sudah lama tidak kunjung terselesaikan oleh pemerintah, khususnya bagi rakyat tidak mampu. Ini karena bersekolah di sekolah negeri pun tetap saja membutuhkan biaya meski jaminan hak (akses) pendidikan telah dituangkan dalam berbagai peraturan yang berlaku.
Dalam pasal 31 UUD 45 ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pemerintah bahkan wajib membiayainya. Pasal 7 ayat 2 RUU Sisdiknas versi Agustus 2022 juga menjelaskan bahwa warga negara Indonesia wajib mengenyam pendidikan dasar selama 10 tahun dan pendidikan menengah selama 3 tahun.
Namun rupanya, negara tidak mampu merealisasikan peraturan yang dibuatnya sendiri. Tujuan pendidikan berupa peningkatan keimanan dan ketakwaan pun belum terwujud meski sudah sekian kali kurikulum pendidikan berubah dan rezim berganti-ganti. Wajar jika dikatakan ada problem besar terkait tata kelola (politik) pendidikan yang diselenggarakan negara, dan hal ini terkait dengan ideologi yang mendasarinya.
Harus dipahami, hak (akses) pendidikan bukan hanya bersekolah, melainkan sejatinya adalah mendapatkan pendidikan berkualitas agar bisa mencapai misi penting pendidikan bagi manusia. Ironisnya, untuk bersekolah saja belum bisa dipenuhi, apalagi untuk mendapatkan hak pendidikan berkualitas.
Badan Pusat Statistik dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 menyatakan bahwa angka anak tidak sekolah usia 16—18 tahun sebanyak 19,2%. Tingkat penyelesaian pendidikan untuk jenjang pendidikan SD sederajat adalah sebesar 97,84%, jenjang SMP sederajat adalah 91,15%, sedangkan untuk jenjang SMA/SMK sederajat hanya 67,07%. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk usia 15 tahun ke atas pada 2024 mencapai 9,22 tahun atau setara kelas 9 SMP sederajat.
Data di atas menunjukkan betapa akses pendidikan belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, menegaskan adanya problem serius dalam dunia pendidikan. Jargon “sekolah (SPP) gratis” nyatanya tidak mampu membuat seluruh rakyat mendapatkan pendidikan dasar dan menengah dengan baik, apalagi untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Jika bagi rakyat umumnya saja demikian, bagaimana pula dengan mereka yang tidak mampu? Mereka tentu jauh lebih lemah dalam mengakses pendidikan. Kehadiran Sekolah Rakyat mengonfirmasi persoalan tersebut bahwa negara selama ini belum memberikan akses pendidikan kepada rakyat miskin, baik dalam bersekolah maupun mendapatkan pendidikan berkualitas. Artinya, dengan menyelenggarakan Sekolah Rakyat, belum berarti kewajiban negara telah tertunaikan.
Negara Lalai
Kehadiran Sekolah Rakyat tetap tidak bisa dilepaskan dari kelalaian negara. Program Sekolah Rakyat menjadi bukti kegagalan politik pendidikan kapitalisme selama ini, khususnya yang mengakibatkan banyak anak dari keluarga miskin ekstrem dan miskin tidak mampu mengakses pendidikan.
Program Sekolah Rakyat sejatinya sekadar tambal sulam untuk menutupi kelalaian negara. Sekolah Rakyat sendiri ternyata tidak bisa menjangkau seluruh anak tidak mampu yang membutuhkan pendidikan gratis. Jumlah yang direncanakan jelas tidak sebanding dengan keseluruhan anak di Indonesia—yang sebenarnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas.
Pengelolaan Sekolah Rakyat juga bukan tanpa masalah. Di Bandung, misalnya, keberadaan Sekolah Rakyat telah merugikan hak sebagian rakyat lainnya. Ruang belajar pada Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Pajajaran Bandung menjadi berkurang dari 4 menjadi 3 ruangan akibat digunakan oleh Sekolah Rakyat. Padahal, keberadaan ruangan tersebut masih sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran di SLB tersebut.
Sekolah Rakyat juga menghadapi problem terkait kebutuhan tenaga pendidik dan penunjang, seperti wali asrama, wali asuh, cleaning service, hingga petugas keamanan. Di sisi lain, infrastruktur dasar, seperti pasokan air bersih dan listrik, juga masih harus dibenahi. Problem paling serius sebenarnya terkait kurikulum pembelajaran.
Sepintas, para siswa Sekolah Rakyat tampak beruntung karena bisa bersekolah. Namun, program pendidikan yang diterima disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi mereka sehingga kurikulum berfokus pada penyiapan bekerja, yakni dengan pembekalan beberapa keterampilan agar dapat mengangkat ekonomi keluarga atau memutus rantai sosial yang tidak produktif. Mengenai bagaimana cara mereka bisa mendapatkan pendidikan di setiap jenjangnya, apalagi hingga bisa kuliah gratis, masih belum bisa dijelaskan.
Model pendidikan seperti itu jelas tidak produktif untuk mengantarkan bangsa ini menuju kemajuan hakiki pada masa mendatang. Terlebih bangsa ini sebenarnya juga memiliki problem sempitnya lapangan kerja, tata kelola ekonomi yang kacau, bahkan kehidupan sosial yang rusak.
Dengan demikian, sejatinya yang dibutuhkan adalah pendidikan yang memberikan bekal bagi lahirnya manusia-manusia yang mampu mengabdi kepada Allah (abdullah) dan mengelola bumi ini dengan aturan Allah (khalifah fil ardh). Ketika kurikulum Sekolah Rakyat masih sekuler kapitalistik, tujuan tersebut tidak akan bisa terealisasi.
Model pembelajaran seperti Sekolah Rakyat ini juga dikhawatirkan akan membelokkan arah pendidikan yang seharusnya, seperti adanya penguatan karakter yang dibentuk berasas sekularisme. Keterlibatan TNI pada awal masa pembelajaran juga menegaskan arah pendidikan yang bersifat humanis nasionalis dan bukan berasaskan akidah Islam.
Model pendidikan begini juga tidak serta-merta mampu memutus rantai kemiskinan, meski mereka memiliki bekal untuk bekerja. Ini karena yang dibutuhkan bukan hanya skill (ketrampilan) dalam hidup, melainkan juga mental yang lahir dari kepribadian Islam (syahsiah islamiah). Mental inilah yang akan menghasilkan semangat untuk terus menuntut ilmu, bekerja keras, hingga mengabdikan ilmu sesuai kebutuhan dan kebaikan bagi masyarakat.
Itulah yang menjadi catatan kritis Sekolah Rakyat. Sebagai solusi tambal sulam, menutup celah di satu sisi, tetapi membuka celah di sisi lain. Kita tidak berharap negara merasa cukup dari program yang sifatnya populis, bahkan bisa jadi hanya sesaat ini. Program tersebut bukanlah solusi hakiki dari kebutuhan akses pendidikan.
Sejatinya, seluruh rakyat membutuhkan pendidikan gratis sekaligus berkualitas, yakni yang mampu mengantarkan pada misi penciptaan manusia oleh Sang Pencipta. Hal itu tidak bisa diharapkan dari program seperti Sekolah Rakyat ini. Pada titik inilah, kita layak untuk menengok hanya pada apa yang sudah digariskan oleh Islam dengan segenap aturannya.
Khilafah Menjamin Semua Rakyat
Dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah (Khilafah), politik pendidikan dibangun berdasarkan akidah Islam. Syariat Islam memandatkan negara untuk menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh rakyat.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (kepala negara) yang mengurusi rakyat itu adalah pemimpin (penanggung jawab) dan akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR Bukhari).
Dengan amanah demikian, negara berkewajiban menjamin akses pendidikan bagi seluruh warganya tanpa memandang status sosial, ekonomi, agama, maupun jenis kelamin, baik di kota maupun desa. Pendidikan bebas biaya dengan kualitas sesuai tujuan yang diharapkan, mengharuskan negara memiliki sumber pendanaan yang cukup. Dalam hal ini, sistem ekonomi Islam pun menjadi penopang agar negara agar senantiasa mandiri secara ekonomi dan keuangan.
Begitu pula, hanya ada satu kurikulum pendidikan yang berlaku di seluruh wilayah negara. Tujuannya membentuk kepribadian Islam, mewujudkan insan yang tidak hanya memahami tsaqafah Islam, tetapi juga berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menguasai kehidupan. Semua rakyat mendapatkan hak yang sama. Mereka berkesempatan menjadi manusia unggul di berbagai bidang tanpa membedakan strata ekonomi sosialnya.
Itulah politik pendidikan yang senantiasa berlaku sepanjang peradaban Islam tegak. Sejak masa kepemimpinan Rasulullah ﷺ hingga peradaban Islam melemah. Keberhasilannya tampak dari majunya peradaban Islam yang berhiaskan para ilmuwan dan ulama, hingga Islam meluas ke seantero dunia.
Semoga kita terus bersemangat dalam mewujudkan politik pendidikan Islam melalui dakwah untuk menerapkan Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah. Hingga generasi Islam terselamatkan dan kejayaan peradaban Islam kembali hadir.
Penulis: Noor Afeefa
[MNews/GZ]
*Artikel pengantar diskusi WAG Muslimah News pada Senin, 28 Juli 2025
#DiskusiWAG