Eradakwah.com – Bak disambar petir di siang bolong, Hedi Ludiman (49), seorang guru honorer, dan istrinya, Evi Fatimah, tak kuasa menahan amarah dan kecewa saat mengetahui rumah yang mereka miliki selama ini telah dijadikan agunan kredit macet di sebuah lembaga ribawi, dan kini dalam proses balik nama di BPN.
Kisah memilukan ini dilansir Kompas.com pada 13 Mei 2025.Peristiwa ini bermula pada tahun 2011, ketika rumah milik Evi Fatimah disewakan kepada SJ dan SH. Rumah yang berlokasi di kabupaten Sleman tersebut memang biasa dikontrakkan, dan saat itu disepakati dikontrakkan untuk masa sewa selama lima tahun.
Namun, baru satu tahun berlalu, sesuatu yang tak terbayangkan terjadi, sertifikat tanah Evi Fatimah tiba-tiba telah dibalik nama oleh penyewa melalui notaris.
Dengan dalih sebagai “jaminan”, penyewa meminta Evi untuk menyerahkan sertifikat rumah pada notaris. Tanpa rasa curiga sedikitpun, karena salah satu penyewa adalah perempuan lanjut usia, Evi pun menyerahkan sertifikat tanahnya. Tragisnya, sertifikat tanah yang telah dibalik nama itu ternyata digunakan untuk mengajukan pinjaman yang kemudian macet dan mendapat teguran dari pihak bank.
Merasa ditipu dan dirugikan, Hedi dan Evi melaporkan hal ini ke pihak Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, harapan mereka pupus ketika laporan itu dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Tidak tinggal diam, mereka mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Sleman dan meminta pemblokiran sertifikat di BPN. Namun alangkah terkejutnya mereka, sertifikat tersebut ternyata telah kembali dibalik nama, kali ini atas nama seseorang berinisial RZA.
Sementara itu, seperti dilansir dari koran Bernas, tanggal 2 Mei 2025, kasus yang hampir sama terjadi pada mbah Tupon di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mbah Tupon, seorang lanjut usia buta huruf di Dusun Ngentak, Bangunjiwo, Bantul, kehilangan tanah miliknya seluas 1.655 m² tanpa pernah merasa menjualnya atau menerima uang sepeser pun.
Ia diminta menandatangani dokumen yang diklaim untuk pemecahan sertifikat tanah untuk dirinya dan anak-anaknya. Namun, belakangan diketahui bahwa tanah tersebut telah berpindah tangan dan diagunkan ke lembaga keuangan oleh pihak lain.
Kasus ini menambah daftar panjang korban kejahatan agraria yang terstruktur.
Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi di negara hukum? Apakah hukum tidak berpihak pada mereka? Ataukah hukum hanya tunduk pada kekuasaan dan uang? Ke mana lagi Hedi dan mbah Tupon bisa menuntut keadilan?
Fenomena Mafia Tanah
Apa yang menimpa Hedi Ludiman dan mbah Tupon adalah potret nyata dari praktek mafia tanah yang masih marak terjadi di Indonesia.Mafia tanah ini dapat berupa individu atau kelompok yang secara terorganisir melakukan manipulasi, penipuan, serta rekayasa hukum atas kepemilikan dan penguasaan tanah demi keuntungan pribadi.
Praktek mafia tanah ini seringkali memanfaatkan celah hukum, kongkalikong dengan oknum aparat, notaris, bahkan lembaga keuangan.
Jika ditelusuri lebih dalam, dampak dari praktek mafia tanah ini tidak hanya merugikan secara material, tetapi juga merusak moral dan mencederai keadilan.
Setidaknya terdapat beberapa pola kerusakan yang dapat diidentifikasi dari kasus ini :
Pertama, adanya manipulasi sertifikat tanah, dimana sertifikat dibalik nama secara ilegal atau tanpa izin dari pemilik sah.
Kedua, dugaan kuat adanya keterlibatan oknum pihak ketiga, termasuk notaris, petugas BPN, atau pihak bank yang turut andil dalam proses penguasaan.
Ketiga, adanya pemanfaatan celah hukum. Dalam kasus Hedi Ludiman telah terjadi kontrak sewa yang kemudian berubah menjadi penguasaan hak kepemilikan penuh secara sepihak.
Keempat, kerugian fatal bagi pemilik sah. Kerugian ini bukan hanya berpotensi kehilangan hak atas tanah, tetapi juga terbebani utang kredit yang bukan tanggung jawabnya.
Mirisnya, praktek kejahatan agraria ini bukan hal baru. Di banyak wilayah Indonesia, modus yang digunakan seringkali sama yaitu berupa memanfaatkan kepercayaan, mengelabui dengan dokumen “resmi”, dan menggiring korban dalam jebakan hukum yang tampak sah, namun sejatinya penuh tipu muslihat.
Peradilan Islam, Solusi Tuntas Berantas Mafia Tanah
Fenomena mafia tanah yang menimpa keluarga Hedi Ludiman dan mbah Tupon menunjukkan kegagalan sistem hukum demokrasi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan rakyat.
Sistem hukum yang berlaku saat ini membuka ruang lebar bagi para pelaku kejahatan agraria untuk memanfaatkan celah, mempermainkan hukum, dan mengabaikan keadilan. Oleh karenanya, sangat mendesak adanya solusi yang mendasar dan menyeluruh, yang mampu menutup semua celah kejahatan ini. Solusi tersebut hanya dapat terwujud melalui sistem peradilan Islam.
Dalam kitab Nidzomul Islam tulisan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, pada bagian Rancangan Undang-Undang Dasar, pasal 75 Al Qadla, disebutkan bahwa dalam sistem pemerintahan Islam, Al Qadla memiliki kewenangan memutuskan hukum suatu perkara yang terjadi dalam masyarakat, atau mengatasi perselisihan antara rakyat dengan aparat pemerintah, tanpa intervensi pihak manapun maupun kekuatan kapital.
Beberapa prinsip utama yang ditawarkan Islam sebagai solusi antara lain :
Pertama, dalam aturan Islam, setiap bentuk pengambilalihan harta tanpa izin atau tanpa kerelaan pemiliknya dikategorikan sebagai ghashab (perampasan), yang merupakan dosa besar.
Dalam kasus manipulasi sertifikat tanah, pelakunya akan dikenai sanksi tegas berupa pengembalian hak kepada pemilik sah, serta dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan.
Kedua, keterlibatan oknum pejabat seperti notaris, petugas BPN, atau pihak bank dalam proses penguasaan ilegal merupakan bentuk khianat terhadap amanah jabatan. Dalam sistem Islam, jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Pelanggaran terhadapnya akan dihukum secara keras oleh lembaga peradilan (Al Qadla).
Ketiga, sistem hukum Islam tidak membuka ruang bagi celah-celah yang dapat dimanfaatkan untuk mengakali hukum.
Kontrak sewa tetaplah akad sewa (ijarah), dan tidak dapat dimanipulasi menjadi kepemilikan kecuali dengan akad jual beli yang sah. Segala bentuk perubahan status hak kepemilikan tanpa transaksi yang sah akan dianggap sebagai pelanggaran dan dapat dibatalkan oleh lembaga peradilan (Al Qadla).
Keempat, Islam menempatkan kepemilikan sebagai hak yang harus dijaga. Negara wajib melindungi harta milik individu sebagaimana negara menjaga harta miliknya sendiri. Maka, ketika ada warga yang didzalimi dan terancam kehilangan hak miliknya akibat kelalaian atau kejahatan pihak lain, negara wajib turun tangan untuk mengembalikan hak tersebut serta memberikan ganti rugi bila diperlukan.
Tidak boleh ada rakyat yang menanggung utang atau beban atas sesuatu yang bukan menjadi tanggung jawabnya.
Jelas di sini, bahwa hanya sistem Islam-lah yang memiliki solusi tuntas terhadap mafia tanah dan berbagai bentuk penindasan lainnya. Islam bukan hanya agama ritual, melainkan sebuah sistem kehidupan yang menyelamatkan manusia dari kedzaliman hukum buatan manusia.Lalu, masihkah kita berharap pada sistem yang terus-menerus gagal melindungi kita?
Sudah saatnya umat Islam kembali kepada sistem kehidupan yang berasal dari wahyu yaitu sistem berdasar hukum Islam, bukan sistem buatan manusia. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah melalui sistem pemerintahan Islam, keadilan sejati dapat diwujudkan dan hak-hak rakyat sepenuhnya dilindungi.
Mafia tanah dan seluruh bentuk kedzalimannya hanya akan tuntas bila hukum Allah ditegakkan di negeri ini. Saatnya umat bangkit dan memperjuangkan tegaknya sistem Islam sebagai solusi hakiki.
Wallahu a’lam bish-shawab.***
Nursakti Hidayat [Relawan MMC]